Nara tidak pernah semarah ini.
      Wajahnya merah padam, sorot matanya dingin, bibirnya membentuk satu garis lurus, ujung sepatunya berlumpur, dan langkah lebarnya yang menyusuri lorong kampusnya yang ramai menjadi pusat perhatian. Bahkan, Nara yang biasa tampil rapi dan tertata, kini tak peduli jika rambut sebahunya tergerai berantakan. Masa bodoh jika ada yang mengecapnya gadis pemarah yang gila.
      Langkah lebarnya berhenti di sebuah ruangan penuh tawa. Begitu menyadari keberadaannya, ruangan itu senyap. Seorang gadis dengan polesan lipstik merah menyala yang duduk paling depan, mendadak pias. Jelita namanya.
      "Nara, ada apa? Apa ada yang tertinggal?" tanya Jelita dengan suara gugup.
       Nara mengangguk. Dengan langkah pasti, gadis itu berjalan hingga berdiri di sisi Jelita. Selanjutnya, yang terdengar adalah pekikan terkejut beberapa orang karena dengan sengaja, Nara menumpahkan isi gelas kopi yang baru dibelinya tepat ke kepala Jelita. Seketika kemeja putih bergaris milik gadis itu bermotif abstrak.
      "Aku lupa mendinginkan kepalamu, Lita!" tukas Nara dingin.
      Bisik-bisik di sekitarnya terdengar semakin jelas. Intinya sama. Mereka mengiranya kerasukan. Pasti ada setan jahat yang telah merasuki raga Nara yang baik hati hingga sudi meluapkan kemarahan seperti itu.
      "Kepala yang penuh amarah dan rasa dengki harus segera didinginkan, Lita. Aku sangat terkejut melihat kolase yang kukerjakan bermalam-malam dipenuhi jus stroberi milikmu, padahal aku tidak berniat mewarnaninya. Aku belum pernah bertemu dengan manusia fiktif sepertimu. Kau sama seperti gadis antagonis yang dengki pada putri raja di buku-buku dongeng."
      "Ap-apa..."