Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tepak Sirih di Langit Jingga

21 November 2023   22:07 Diperbarui: 21 November 2023   22:14 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Hida Al Maida (editing by Canva)

Jingga hening, lagi. Perasaan jenis baru macam apa itu, desak benaknya bertanya.

"Kamu langsung browsing di internet makna dari benda-benda yang ada di tepak sirih ini. Kamu tahu karena apa?" tanya Sekala lagi.

"Karena aku penasaran."

"Nah, itu dia! Itu poinnya! Hal-hal yang membuat kita penasaran, biasanya hal-hal yang akan membuat kita jatuh cinta. Selama ini kamu cuma gak mau melihat itu karena kamu berpikiran bahwa menjadi seseorang yang ahli dalam bidang hukum akan membuat kamu merasa sempurna. Pertanyaannya, kamu merasa bahagia gak dengan itu?"

Telak. Jingga bungkam. Usahanya belajar keras bertahun-tahun seolah mengejeknya. Karena selama ini Jingga melakukannya semata-mata untuk mendapat pengakuan dari orang tuanya. Jingga kehilangan kepuasan yang seharusnya diterimanya. Jingga kehilangan dirinya.

"Sekarang ini banyak orang-orang menyedihkan, Jingga. Orang-orang yang berusaha keras untuk menerima pengakuan orang lain, sampai rela melakukan apa-apa yang sebenarnya gak membuat mereka bahagia. Membuat mereka jauh dari diri mereka yang seharusnya. Aku bukan Mario Teguh, tapi aku suka membaca kayak Bung Hatta."

"Apa hubungannya?" sahut Jingga pelan.

"Poinnya, jadi diri kamu sendiri, Jingga. Bangun pondasi di diri kamu sendiri. Kuatkan pondasi kamu agar semakin banyak orang kuat di negara kita. Salah satunya dengan cara mendalami apa yang kamu cintai, apa yang membuat kamu penasaran. Kalau itu seni, budaya, atau sastra, selami sampai kamu megap-megap di dalamnya."

Jingga tertawa. Untuk pertama kali setelah setahun lebih mereka sekelas. Lekas gadis itu meredakan tawanya. "Jangan salah sangka," ujarnya cepat. "Aku ketawa bukan karena ngetawain petuah kamu yang ... ya, cukup berguna itu. Tapi karena lucu aja dengan isitilah 'megap-megap' yang kamu pakai."

Sekala mengibaskan tangan, tak terlalu acuh. Jingga menangkap poin dari perkataan panjang lebarnya saja sudah cukup berarti baginya.

"Aku pernah dengar kata-kata begini, Sekala. Jangan lihat apa yang negara berikan ke kamu, tetapi lihat apa yang sudah kamu berikan untuk negara. Nyatanya gak ada sama sekali. Kupikir dengan terjun ke hukum, sok-sokan untuk memperbaiki hukum kita yang menurutku pincang, itu udah cukup. Ternyata enggak. Aku gak sekuat itu buat melakukannya karena aku sendiri, bahkan belum membangun pondasi yang kuat buat diriku sendiri. Jalan yang kamu pilih kayaknya ... terdengar lebih masuk akal, Sekala."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun