"Kamu jangan egois, dong, Jingga! Ini tugas kelompok! Kemalasan kamu itu gak cuma merugikan diri kamu, tapi juga orang lain," imbuh Sekala. Kekesalannya masih menyala, tak redup meski sedikit saja. "Kamu enak bisa leha-leha, aku kepikiran sampai gak bisa tidur."
"Kamu pikir aku senaif itu, Sekala?" Jingga menyahut. Tak ada nada amarah di suaranya. Pelan, layaknya berbisik. "Kalau hanya salah jurusan yang membuatku malas kuliah, sudah lama aku pindah. Ya, memang gak sepenuhnya salah. Tapi kupikir kamu pasti cerdas untuk mengetahui bahwa ada alasan di balik alasan, seperti lapisan kebohongan."
Sekala mengernyit. Mulai tak paham. Memahami diksi di puisi era Balai Pustaka lebih mudah dari mencerna kata-kata ambigu Jingga yang selalu enggan membocorkan segala hal tentangnya, seperti yang dilakukan Sekala. "Ngomong yang jelas, dong! Ngomongin hukum aja lancar," sungut Sekala.
Jingga tak merespon banyak. Usai ditenggaknya kopinya hingga tandas, membuang gelas kertasnya ke tong sampah yang tak jauh di sana, gadis itu lantas memutuskan. "Kalau kamu emang sesemangat itu, kita kerjakan besok. Aku gak tahu banyak. Tolong jangan gosipin aku ke seluruh kampus cuma karena aku gak bisa membantu banyak besok."
Lihat! Di mana lagi ada manusia yang lebih menyebalkan dari Jingga?
***
"Dari mana kamu dapat semua ini?"
Jika Sekala menyebut Jingga "manusia oportunis", maka Jingga akan dengan lantang menyebutnya "aneh". Ah, tidak aneh. Tapi sangat aneh. Lihat apa yang dilakukannya? Manusia waras mana yang membawa kotak aneh berwarna emas, tenunan kain dengan motif yang asing di mata Jingga, juga peci yang belum pernah Jingga lihat motifnya sebelumnya. Kebetulan Jingga hanya tahu satu motif peci, yakni hitam polos yang biasa dipakai Bapak-bapak pejabat, atau yang dipakai para petugas pengibar bendera.
Sekala duduk di sampingnya. Lagi-lagi pendopo kampus jadi satu-satunya tempat yang diinginkan Jingga untuk mengerjakan tugas kelompok mereka. "Harusnya sebelum kamu tanya dari mana, kamu tanya dulu apa," kata Sekala. Binar di wajahnya secarah matahari terbit. "Karena aku yakin, pasti kamu gak pernah lihat semua ini dan gak tahu nama-namanya."
Jingga ingin kesal dan membawa hukum-hukumnya lagi. Namun, Sekala benar. Dunia Jingga yang penuh aturan, stigma, dan perintah nyatanya amat kecil untuk tahu hal-hal sederhana seperti yang dibawa Sekala.
Maka meski enggan, Jingga menyatukan diri dalam projek kerja kelompok kali ini. Hanya kali ini saja. Itupun karena Sekala tak henti-hentinya menyerangnya dengan banyak tuduhan menyebalkan, termasuk label "oportunis" yang disematkan laki-laki itu di belakang Namanya.