"Biar kutebak! Benda-benda ini pasti dari suku ... ehm ... Aceh?" Suara Jingga di akhir kalimatnya, memelan. Hampir hilang.
Sekala mengulum senyum. "Saking salahnya, aku pengen tertawa, Jingga. Tapi takut kamu tersinggung," katanya usai itu.
"Dengan bilang begitu namanya kamu udah menertawakanku, Sekala!"
"Makanya, kalau di kelas itu, dengerin apa kata dosen. Belajar! Bukan malah browsing pasal-pasal KHUP."
"Iya. Iya. Terserah. Sekarang jawab, ini apa, dan kamu dapat dari mana?"
Sekala mengubah posisi duduknya menjadi bersila. Binar matanya tak pernah hilang. Entah itu Ketika membahas tentang Melayu, sastra, atau masakan Ibunya yang luar biasa, binar berseri di matanya terlihat kentara. "Ini songket," katanya. Mengambil kain tenun warna hijau lumut itu. "Songket ini kain tradisional Melayu, Jingga. Tapi gak semua Melayu punya kain songket. Songket ini sendiri asalnya dari Sumatera Selatan, ada juga dari Minangkabau."
"Intinya, budaya yang akan kita ambil sebagai topik tulisan adalah Melayu. Ja---"
"Harus kujelasin supaya kamu tahu," potong Sekala. Mengabaikan wajah enggan Jingga, dia melanjutkan, "yang ini namanya kopiah. Banyak juga orang yang nyebut ini songkok. Terus ini, yang paling spesial."
"Apa?"
"Tepak sirih."
Sekala membukanya. Memperlihatkan teduh dan kentalnya adat di daun sirih, gambir, tembakau, pinang, cengkeh, kapur, dan kacip yang tersusun rapi di dalamnya. Jingga mengamatinya lama.