"Tepak sirih ini budaya Melayu, Jingga. Digunakan untuk menyambut tamu. Dan hebatnya, setiap benda yang kamu lihat di dalamnya, ada makna-maknanya tersendiri."
"Kamu gak usah jelaskan," sahut Jingga. Masih focus memerhatikan susunan isi tepak sirih. "Nanti aku browsing, kucari tahu sendiri."
"Wah, Jingga! Aku gak nyangka kamu bakal jatuh cinta secepat ini dengan budaya. Padahal kemarin aja masih ogah-ogahan."
Alih-alih menyahuti ucapannya, Jingga malah mengangkat kacip tepat di depan hidungnya. "Ini apa? Fungsinya buat apa?" tanyanya.
Dengan telaten, Sekala menjelaskan. "Ini kacip. Gunanya buat membelah pinang atau gambir."
Jingga hanya mangut-mangut. Hening menilai dan mengamati satu-persatu isi tepak sirih, sembari sesekali membaca hasil browsing di ponselnya. Sekala jadi segan mengusik. Segan menyela kegiatan menyelam ke lautan ilmu yang dilakukan gadis itu. Namun setidaknya, apa yang dilakukan Jingga membuka banyak pikiran Sekala.
"Kenapa kamu sangat suka hukum, Jingga?" Sekala bertanya setelah itu.
"Karena apa lagi? Orang tuaku bekerja di bidang hukum, dua-duanya. Tentu mereka ingin aku jadi orang yang sama. Lagian, belajar di bidang hukum terlihat lebih menghasilkan daripada bela---"
"Pikiran seperti itu timpang, Jingga," potong Sekala. Menatap gadis itu lurus-lurus untuk memberinya sebuah keyakinan. "Semua ilmu yang kamu pelajari, bisa menghasilkan. Kalau gak menghasilkan uang, setidaknya menghasilkan pikiran yang gemilang. Hukum, Matematika, komputer, bahkan seni dan budaya menyimpan ilmu-ilmunya masing-masing. Karena kita belajar satu, bukan berarti yang lain jadi gak berguna. Kamu tahu kenapa aku suka budaya, seni, dan sastra?"
"Kenapa?"
"Karena saat aku belajar semua itu, aku tahu banyak tentang hal itu, aku bisa menguasai beberapa hal yang ada kaitannya dengan itu, aku merasa diriku penuh. Sejenis perasaan puas, tapi lebih dari itu, yang buat aku terus-terusan kehausan. Makanya aku terus belajar banyak hal. Dan kamu tahu, gak semua manusia punya kesempatan merasakan perasaan 'terpenuhi' itu."