Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tepak Sirih di Langit Jingga

21 November 2023   22:07 Diperbarui: 21 November 2023   22:14 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Hida Al Maida (editing by Canva)

"Tepak sirih ini budaya Melayu, Jingga. Digunakan untuk menyambut tamu. Dan hebatnya, setiap benda yang kamu lihat di dalamnya, ada makna-maknanya tersendiri."

"Kamu gak usah jelaskan," sahut Jingga. Masih focus memerhatikan susunan isi tepak sirih. "Nanti aku browsing, kucari tahu sendiri."

"Wah, Jingga! Aku gak nyangka kamu bakal jatuh cinta secepat ini dengan budaya. Padahal kemarin aja masih ogah-ogahan."

Alih-alih menyahuti ucapannya, Jingga malah mengangkat kacip tepat di depan hidungnya. "Ini apa? Fungsinya buat apa?" tanyanya.

Dengan telaten, Sekala menjelaskan. "Ini kacip. Gunanya buat membelah pinang atau gambir."

Jingga hanya mangut-mangut. Hening menilai dan mengamati satu-persatu isi tepak sirih, sembari sesekali membaca hasil browsing di ponselnya. Sekala jadi segan mengusik. Segan menyela kegiatan menyelam ke lautan ilmu yang dilakukan gadis itu. Namun setidaknya, apa yang dilakukan Jingga membuka banyak pikiran Sekala.

"Kenapa kamu sangat suka hukum, Jingga?" Sekala bertanya setelah itu.

"Karena apa lagi? Orang tuaku bekerja di bidang hukum, dua-duanya. Tentu mereka ingin aku jadi orang yang sama. Lagian, belajar di bidang hukum terlihat lebih menghasilkan daripada bela---"

"Pikiran seperti itu timpang, Jingga," potong Sekala. Menatap gadis itu lurus-lurus untuk memberinya sebuah keyakinan. "Semua ilmu yang kamu pelajari, bisa menghasilkan. Kalau gak menghasilkan uang, setidaknya menghasilkan pikiran yang gemilang. Hukum, Matematika, komputer, bahkan seni dan budaya menyimpan ilmu-ilmunya masing-masing. Karena kita belajar satu, bukan berarti yang lain jadi gak berguna. Kamu tahu kenapa aku suka budaya, seni, dan sastra?"

"Kenapa?"

"Karena saat aku belajar semua itu, aku tahu banyak tentang hal itu, aku bisa menguasai beberapa hal yang ada kaitannya dengan itu, aku merasa diriku penuh. Sejenis perasaan puas, tapi lebih dari itu, yang buat aku terus-terusan kehausan. Makanya aku terus belajar banyak hal. Dan kamu tahu, gak semua manusia punya kesempatan merasakan perasaan 'terpenuhi' itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun