Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen PEKSIMIDA Sumatera Utara Tahun 2022
Kalau ditanya mengapa harus sastra Indonesia, Sekala Dzuhrie Alaudiin dengan tenang akan menjawab, "selain Ibuku dan Melayu, sastra adalah keindahan nomor tiga yang kucintai." Lengkap dengan mimik menghayati amat dalam seolah-olah dirinya tengah bernarasi di tengah ribuan penonton.
Namun sialnya, dia harus terjebak dalam drama "kerja kelompok" dengan gadis oportunis yang salah jurusan; Jingga. Ya, hanya Jingga. Sekala pikir orang tua gadis berambut pendek itu amat pemalas hanya untuk mencari nama. Sudah dua hari mereka tak melakukan apa-apa. Jingga tak pernah tertarik diajak berdiskusi tentang tugas mereka. Alih-alih mendiskusikan budaya apa yang akan mereka akan menjadi tulisan, gadis itu malah akan berkoar-koar tentang pincangnya hukum negara.
Sekala sampai kesal mendengarnya. Sampai ingin membubarkan diri dari kelompok berdua itu dan mengerjakannya sendiri. Namun kesialan nomor duanya, arahan dan peraturan dosen menghalangi Sekala melakukannya.
"Kalau mau mengulang mata kuliah, jangan ngajak-ngajak dong, Jingga," kata Sekala di hari ketiga Ketika menemui Jingga di pendopo kampus. Raut wajahnya tak sebersahabat sebelumnya. "Ini udah hari ke-tiga. Nggak sampai seminggu lagi, tugasnya dikumpulin. Masa kamu tega membunuh semangat belajar orang lain cuma karena semangat belajar kamu yang gak ada."
Jingga yang tengah meneguk kopinya dengan ekspresi yang sama sejak Sekala mengenalnya, mengantuk, menoleh dengan tatapan yang seolah mengatakan "mau apa lagi manusia satu ini?".
"Sekala, kamu tahu apa isi pasal 368 ayat 1 KUHP?" tanyanya. Seperti biasa, gaya sombongnya mendesak Sekala untuk meraup wajahnya dengan tepung dan menyadarkannya bahwa bicara seperti itu tak cocok dengannya.
Maka tak heran jika kali itu Sekala menggertak sebal. "Jangan apa-apa bawa hukum, deh. Gak ada kaitannya. Gini nih, manusia salah jurusan yang masih cinta sama jurusan pilihannya. Oportunis. Gak tahu apa, kamu itu merepotkan, menyusahkan, bahkan membuat nilai seseorang terancam. Gak ada hati banget."
Raut wajah Jingga semakin kehilangan ekspresinya, Andai pagi itu tak begitu mendung, mungkin akan lebih mudah bagi Sekala untuk melihat matanya yang berlapis cahaya bening. Gadis itu lalu meletakkan gelas kopinya. Bergeming tanpa mengucap sepatah kata pun pada Sekala.
Tertampar? Begitulah agaknya.