Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita Rehat Saja Dulu (Cerpen)

23 Juni 2023   20:40 Diperbarui: 23 Juni 2023   20:42 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Seharusnya sebelum kamu memutuskan melakukan penelitian untuk skripsi, ukur dulu kapasitas diri kamu. Kamu bisa apa tidak. Kamu mampu apa tidak. Jangan belaga paling tahu, di sini kamu mau menyelesaikan skripsi, bukan mau orasi."

Rihga Mahesa muak, sungguh. Ini sudah kali kesekian proposal untuk skripsinya ditolak dosen pembimbing---seorang pria paruh baya yang sejak awal-awal semester, tidak pernah menunjukkan rasa suka atau setidaknya simpati padanya---yang kadar kepedasan ucapannya melebihi mulut warga pengguna internet yang saban hari dibicarakan Naura, gadis SMA yang tinggal di sebelah rumahnya.

Rihga sudah dua puluh empat tahun. Seharusnya sekarang bukan waktu yang tepat untuknya berkutat dengan skripsi di saat rekan-rekannya pamer kantor baru, pacar baru, atau undangan pernikahan.

"Sialan!" umpatnya sebal.

Dalam sepersekian detik, proposal di tangannya remuk dan berakhir di tempat sampah. Sekali lagi dia tekankan, dia muak. Perkara skripsi sialan yang dia perjuangkan mati-matian ini, harga diri yang ia sanjung-sanjung direndahkan begitu saja.

Rihga tidak terima.

"Ga! Gimana?"

Pertanyaan itu disusul rangkulan akrab di bahunya. Rihga tak ingin repot-repot menoleh. Hanya ada satu manusia yang sangat khawatir pada kelulusannya, Alby, temannya sejak SMA yang sudah merintis usaha kecil-kecilannya.

Baca juga: Cerpen: "Bertaut"

"Ditolak, lagi," sahut Rihga bosan.

Seperti biasa tiap kali dia gagal, Alby menepuk bahunya dengan senyum menenangkan. "Gak apa-apa," katanya. "Gagal itu kan wajar. Coba periksa lagi lebih detail, bagian mana yang perlu direvisi. Nanti aku ban---"

"Makasih, Al. Tapi udah gak perlu." Rihga menyela. Rangkulan Alby terlepas dan laki-laki itu menatapnya dengan sorot bertanya.

"Persetan dengan skripsi, dengan kelulusan! Kegagalan yang wajar itu cuma sekali dua kali, Al. Ini sudah hampir sepuluh kali. Itu dosen bener-bener minta disumpahin. Aku udah kerja keras, begadang tiap malam demi proposal tolol itu! Dan itu baru proposal."

Alby terperangah. Terbata-bata dia coba menenangkan Rihga dan rasa muaknya pada segala hal. "Ta-tapi, Ga! Ini sudah setengah jalan, loh. Tanggung kalau mau menyerah sekarang."

Rihga mendengus tak peduli. "Mau sebagus apapun usahaku, sepertinya memang gak akan dihargai di kampus ini, Al," cetusnya. "Mahasiswa dengan cap buruk, tukang orasi sana sini, demo ke sana ke mari, memperjuangkan hal yang 'kata orang' cuma biar dapat validasi, memangnya bisa lebih baik dari sampah?"

"Jadi aktivis itu keren kok, Ga! Sebagai teman, aku akui, aku bangga!"

Untuk kali kesekain, Rihga berdecak muak. "Cuma aktivis dan teman-teman seperjuangan aktivis yang bilang begitu. Udahlah! Aku mau pulang, Al."

Tanpa menunggu sahutan teman karibnya itu, Rihga beranjak. Sorot mata, kerutan di keningnya, dan betapa berantakannya rambut Rihga seperti sinyal untuk orang-orang agak tak mendekati apalagi bicara padanya.

Rihga muak, kesal, kecewa, dan marah yang entah harus dilimpahkannya pada siapa. Kurang enam tahun menjadi mahasiswa terasa sia-sia. Sangat sia-sia. Tak hanya orasinya yang berakhir pada istilah 'masuk kuping kanan keluar kuping kiri', proposal untuk skripsinya pun bahkan ditolak berkali-kali.

Sejak Rihga membuang proposalnya ke tempat sampah tadi, Rihga menanamkan di dalam dirinya untuk menunggu satu hal saja; surat pengeluarannya dari kampus. Toh, mau Rihga menyabet predikat cumlaude sekalipun, tak akan ada yang bertepuk tangan bangga padanya.

Rihga tak punya ibu yang menunggunya di rumah dengan sajian makan siang yang lezat. Tidak juga seorang ayah yang bisa dia ajak berbagi pikiran dan keluh kesah tentang politik, pemerintah, atau sumpah-serapah orang-orang tentang dunia yang 'katanya' tak adil ini. Satu-satunya keluarga yang Rihga miliki hanyalah abangnya, pria usia tiga puluh yang sehari saja tidak mencicipi alkohol, judi, dan wanita dalam hidupnya, maka nafasnya akan berada di kerongkongan, barangkali.

Dan tentu saja, mau dunia Rihga terbalik sekalipun, pria itu tetap tidak akan menoleh untuk menanyai keadaannya.

Rihga melambaikan tangan. Angkot biru pudar berhenti di hadapannya, dan segera Rihga melompat masuk. Matahari yang tengah giat-giatnya bersinar di atas sana membuat kepalanya semakin sakit. Saat ini, tak ada yang Rihga butuhkan selain kasurnya.

"Waaah kampusnya keren, ya, Bu!"

Pujian menyebalkan itu menarik perhatian Rihga pada sepasang ibu dan anak yang duduk di depannya. Rihga mendengus kecil. Ibu dan anak di depannya tak tahu saja jika di dalam sana, ada seorang dosen tua menyebalkan yang membuat Rihga ingin sekali mendumel dan memaki sepanjang hari.

Sadar dengan dengusannya, ibu di depannya menolah. "Kuliah di sana ya, Nak?" tanya ibu itu ramah.

Rihga tersenyum sok sopan. "Iya, Bu," sahutnya.

"Sudah semester berapa?"

Pertanyaan menyebalkan sepanjang sejarah perkuliahannya.

"Dua belas, Bu."

Wajah ibu di depannya tampak kaget. Namun, dengan cepat wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Laila jadi pengen cepat besar, Bu." Gadis yang Rihga perkirakan berumur dua belasan tahun itu berseru, penuh antusias seolah menjadi dewasa adalah fase paling menyenangkan dalam hidup. "Laila mau jadi kayak abang ini, kuliah, ketemu teman-teman yang banyak, gak ada seragam, pasti seru."

"Seru Mbahmu!" Rihga membatin. Namun, tetap tersenyum demi menghargai semangat gadis kecil itu.

Angkot yang ditumpangi Rihga berhenti. Ibu dan anak itu pamit turun lebih dulu. Sisa perjalanan pulangnya, dihabiskan Rihga hanya dengan menatap lalu lalang kendaraan lewat jendela. Pikirannya melanglang buana. Selama ini, Rihga selalu tahu apa alasannya dan untuk siapa dia berjuang. Namun, sejak proposalnya ditolak berkali-kali, sejak dia dicela sebagai mahasiswa banyak bicara tapi sedikit isi kepala, dan sejak dia mendapat tatapan penghakiman dari dosen dan mahasiswa lainnya, Rihga mulai ragu terhadap alasan-alasannya.

Pertanyaan sederhananya, untuk apa dan siapa dia melakukan semua itu selama ini?

Angkot yang ditumpanginya berhenti lagi. Rihga menoleh, menatap siapa yang masuk. Gadis dengan tumpukan buku dan rambut kuncir kuda khasnya---seseorang yang amat dikenali Rihga. Segera saja Rihga membuang muka, tak ingin disapa.

"Hai, Kak Rihga!"

Namun, harapannya pupus.

Rihga menoleh. Menatap gadis yang duduk di depannya itu dengan tatapan bosan. "Apa?" tanyanya jengah.

Namanya Kanaya, dua tahun lebih muda darinya dan tengah berkutat dengan skripsinya juga---sama seperti Rihga andai dia tak menyerah dan membuang proposalnya ke tempat sampah. Sama sepertinya, Kanaya juga dibimbing dosen tua yang ingin disumpah serapahi Rihga itu. Bedanya, Kanaya memilki mental baja dan muka tembok untuk menghadapinya.

"Apa sekarang Kak Rihga udah gak boleh disapa lagi?" tanyanya polos.

"Boleh." Rihga menjawab jengah. Sungguh, semesta sepertinya tengah berlomba-lomba menyuguhkan hal-hal memuakkan kepadanya.

"Apa aku gak disapa balik?"

"Halo, Kanaya!" sapa Rihga datar.

Kanaya mangut-mangut. "Ekspresi gak relanya terlalu kentara, Kak Rihga," ujarnya.

"Kamu terlalu banyak ngomong, Kanaya." Hal yang dipendam-pendam Rihga selama ini, akhirnya tersuarakan.

Kanaya tersenyum lebar menanggapinya. "Bener," sahutnya semangat. "Tapi aku cuma banyak ngomong sama orang tertentu. Sama orang-orang yang kuizinkan masuk ke domainku karena gak berpotensi mencederai, melukai, menghalangi, atau bahkan mengubahku. Kak Rihga salah satunya."

"Aku gak merasa kita sedekat itu."

"Tapi kita satu dosen pembimbing. Menurutku itu udah cukup dekat, Kak Rihga. Dan lagian, kita juga pernah diskusi bareng di perpustakaan, minum kopi di ka---"

"Udah! Udah! Gak usah diperpanjang," potong Rihga. "Jangan karena kamu suka baca, suka bawa buku ke mana-mana, jadi sok pintar begitu walau konteksnya cuma menghadapi lawan bicara kamu yang notabenenya senior kamu. Percuma, tau gak? Hidup kamu cuma berputar-putar di buku, tapi bicaranya seolah tahu segalanya."

Kanaya---seperti yang dikatakan Rihga sebelumnya---dengan muka temboknya tersenyum lebar. "Aku gak keberatan Kak Rihga bilang begitu. Aku gak tersinggung loh, walau Kak Rihga bilang aku sok tahu segala hal. Tapi yang Kak Rihga gak sadar adalah, dari tadi aku bicara tentang persepsiku, dan aku gak memaksakannya ke siapapun. Aku cuma membaginya ke Kak Rihga."

Kening Rihga berlipat-lipat. Jiwa aktivis dan tukang debatnya tersulut jika Kanaya sudah memancingnya. Beruntung saja angkot yang ditumpanginya tak begitu ramai. Jika tidak, Rihga mungkin akan mengundang perhatian banyak orang.

"Poinnya adalah, kamu meledek aku yang suka demo dan menyuarakan keresahan banyak orang, benar?" tanyanya tak terima.

"Bukan hanya dalam konteks demo, Kak Rihga juga begitu kalau debat."

"Kamu---"

"Aku belum selesai, Kak Rihga. Ya, Kak Rihga mungkin bener soal wawasanku yang gak seluas Kak Rihga. Kak Rihga juga bener soal membangun relasi itu banyak manfaatnya, salah satunya mendapat validasi. Tapi bukan berarti jadi mahasiswa kupu-kupu itu buruk."

Posisi Rihga terjepit. Rihga paham betul isi percakapan mereka kali ini. Lanjutan dari percakapan mereka di perpustakaan minggu kemarin di mana Rihga menyinggung soal kehidupan kuliah-pulang kuliah-pulang monoton yang dijalani Kanaya.

Dan siapa sangka, gadis itu mematahkan argumen-argumennya hari ini.

"Tetep aja, kamu itu egois, Kanaya." Rihga melempar serangan terakhirnya. "Kamu itu pintar, siapa yang gak tahu. Tapi kamu lebih memilih menyimpan semua isi kepala kamu, alih-alih ikut berdiskusi dengan orang-orang. Itu juga bisa disebut kejahatan terselubung."

"Sebut saja begitu," sahut Kanaya tenang. Kadang, Rihga heran. Meski dipojokkan, Kanaya selalu bersikap tenang. Barangkali jika dia diamuk badai sekalipun, gadis itu akan tetap kukuh dengan sikap tenangnya.

"Tapi apa Kak Rihga sadar kalau di antara orang-orang yang berdiskusi atau berdebat itu, satu dua di antaranya pasti antagonis. Gak bisa dipungkiri, mereka pasti ingin mempertahankan argumen mereka meski diserang dari berbagai sisi. Ujung-ujungnya mereka bakal melakukan pembelaan berdalih persepsi."

"Kamu sok tahu." Posisi Rihga sudah tak terselamatkan lagi. Kali ini, Rihga merelakan dirinya kalah.

"Bukan, bukan sok tahu. Walaupun Kak Rihga bilang aku mahasiswa kupu-kupu, tapi gak sekali dua kali aku ikut diskusi di kelas. Dan fenomena seperti yang aku sebutkan tadi, banyak terjadi. Jadi, lebih egois mana dengan orang yang hanya diam mendengarkan? Lebih luas wawasan siapa dengan orang yang hanya membaca atmosfir sekitarnya? Orang-orang seperti itu juga cerdas loh, Kak Rihga. Memang gak cerdas dalam konteks berorasi atau sebagainya, tapi mereka cukup cerdas membaca situasi."

Rihga hanya berdecak. Tak lagi punya argumen sebab sedikit banyak pernyataan Kanaya menyinggung dirinya. Hari ini jadi jauh berkali lipat lebih menyebalkan. Rihga semakin muak dengan hidupnya dan tak sabar ingin segera cepat pulang, mendinginkan kepalanya yang terasa terbakar.

"Kak Rihga?" Kanaya memanggilnya.

Lewat gestut tubuhnya, Rihga bertanya ada apa.

"Kak Rihga gak penasaran kenapa aku selalu kelihatan menentang Kak Rihga, saat aku sendiri pernah bilang kalau aku suka sama Kak Ri---kiri!" Kanaya memeluk bukunya. Rihga berdecak  kesal. "Aku duluan, Kak Rihga. Hati-hati pulangnya," ujarnya.

Namun, Rihga tidak mungkin mengiyakan begitu saja. Kanaya memberinya pertanyaan yang sangat Rihga inginkan jawabannya sejak gadis itu tiba-tiba mengaku menyukainya. Maka, Rihga ikut turun dan menyusulnya.

Persis seperti yang diduganya, Kanaya menoleh dan menatapnya dengan kening berlipat. Cahaya matahari yang menghunjam wajahnya, latar belakang toko-toko di belakangnya, serta bunyi lalu lalang kendaraan merefleskikan rutinitas mahasiswa di kota-kota besar.

Rihga memandanginya lama-lama.

"Kak Rihga turun di sini, atau mau menyampaikan sesuatu buat mematahkan ucapanku tadi?" tanyanya terus terang, masih dengan pembawaannya yang tenang.

Raut wajah kusut Rihga mengendur. Laki-laki itu menunduk sebentar untuk menatap Kanaya lagi setelahnya. "Aku gagal, Nay," akunya. "Lagi."

"Terus apa yang Kak Rihga lakukan? Ngamuk di depan Pak Brata atau banting proposal ke mukanya?" sahutnya.

"Proposalnya kubuang. Aku muak."

Bahu Kanaya merosot seketika. "Yaah, gitu aja nyerah." Suaranya berubah lirih.

Alis Rihga bertaut tak suka. "Aku bukan kamu, ya, Nay," tudingnya. "Aku bukan kamu yang masih bisa ketawa dan lanjut baca buku walau udah dimarahin habis-habisan sama Pak Brata. Aku juga bukan kamu yang bisa makan tenang di kantin setelah dicerca sama Pak Brata."

"Yup, Kak Rihga bener." Sekali lagi, si aneh itu---sebutan Rihga untuk nama baru Kanaya---mengaamiini perkataannya. "Mental setiap orang berbeda. Tapi bukannya itu gak sepantasnya dijadikan alasan untuk menyerah? Istilah 'kalau orang lain bisa, kenapa aku nggak?' itu ada benernya, loh, Kak Rihga. Karena setiap orang pasti punya alasan kenapa dia bertahan dalam sesuatu."

Kali ini, semesta sedikit unik. Baru saja Rihga mempertanyakan alasan-alasannya tetap hidup dan bertahan, sosok Kanaya tiba-tiba saja menyinggung hal yang sama.

Rihga menatapnya serius. Teringat cerita Kanaya tentang hidupnya beberapa waktu lalu yang tak jauh berbeda dari kisah hidup Rihga. Tidak ada orang tua, tidak ada sandaran. Bedanya, jika Rihga masih punya abang, Kanaya sama sekali tidak. Bahkan gadis itu bercerita bahwa dirinya ditemukan di depan sebuah panti asuhan.

"Kalau kamu sendiri, apa alasan kamu bertahan di dunia yang nyebelin ini, Nay?" tanya Rihga. Matanya menyipit sebab matahari makin riang bersinar.

"Alasan-alasan sederhana." Jawaban Kanaya menambah kerutan di kening Rihga. Seperti sebelumnya, Rihga diam menunggunya selesai bicara.

"Dulu waktu SMP, aku sempat malas lanjut SMA karena dibully terus, Kak Rihga. Terus kata Bunda di panti, kita gak boleh menyerah cuma karena keadaan gak sebaik yang kita inginkan. Bunda lalu mengajari aku buat menciptakan alasan-alasan yang membuat aku harus bertahan, sekecil apapun alasannya.

"Lalu, aku masuk SMA karena mau ngerasain menu kantinnya, aku ikut lomba menulis cerpen buat lepas satu jam pelajaran olahraga yang bikin capek, aku masuk kuliah karena pengen pakai baju bebas ke institusi pendidikan, aku bangun pagi dan datang kuliah tepat waktu cuma biar bisa ngobrol dengan bapak-bapak tukang sapu jalan di depan kampus, atau aku senang baca buku karena pengen dibuat jatuh cinta sama gaya tulisan authornya.

"Sesederhana itu, Kak Rihga. Gak usah-usah muluk, deh. Gak usah berharap hal-hal yang terlalu besar, dan berlebihan. Selain karena hal-hal yang berlebihan itu gak baik, kita juga bisa sakit sendiri. Jadi ya, nikmati aja. Toh, hidup ini seperti buku kan, Kak Rihga? Gak semua babnya diisi bagian-bagian buruk, pasti ada bagian-bagian manis dan menyenangkannya."

Amarah yang bergumul di dada Rihga, perlahan menguap. Laki-laki itu membuang nafasnya pelan. Kanaya itu menyebalkan kalau sudah bicara dan mematahkan ucapan-ucapannya. Namun di sisi lain, Rihga diam-diam mengaguminya.

Alasan-alasan kecil untuk bertahan hidup. Rihga mengingatnya dalam kepala. Keinginannya untuk segera pulang dan tidur, buyar. Kembali ke kampus menjadi pilihan terbaiknya saat ini.

"Kanaya," panggilnya. "Aku mau balik lagi ke kampus. Kamu lagi punya niatan baik buat menemani aku nggak?"

Kanaya mengangguk dengan senyum mengembang. Gadis itu berjalan mendahuluinya ke pinggir trotoar, bersiap menyeberang. Namun, masih ada satu hal lain yang mengusik perasaan Rihga.

"Kanaya."

"Ya?"

"Untuk pertanyaan kamu sebelum turun angkot tadi, aku gak perlu menebak buat jawab, ya, kali ini?"

"Kenapa?"

"Karena aku juga punya pertanyaan yang sama. Sekarang, kita simpan sama-sama aja dulu pertanyaannya."

  •  
  • T A M A T

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun