Posisi Rihga terjepit. Rihga paham betul isi percakapan mereka kali ini. Lanjutan dari percakapan mereka di perpustakaan minggu kemarin di mana Rihga menyinggung soal kehidupan kuliah-pulang kuliah-pulang monoton yang dijalani Kanaya.
Dan siapa sangka, gadis itu mematahkan argumen-argumennya hari ini.
"Tetep aja, kamu itu egois, Kanaya." Rihga melempar serangan terakhirnya. "Kamu itu pintar, siapa yang gak tahu. Tapi kamu lebih memilih menyimpan semua isi kepala kamu, alih-alih ikut berdiskusi dengan orang-orang. Itu juga bisa disebut kejahatan terselubung."
"Sebut saja begitu," sahut Kanaya tenang. Kadang, Rihga heran. Meski dipojokkan, Kanaya selalu bersikap tenang. Barangkali jika dia diamuk badai sekalipun, gadis itu akan tetap kukuh dengan sikap tenangnya.
"Tapi apa Kak Rihga sadar kalau di antara orang-orang yang berdiskusi atau berdebat itu, satu dua di antaranya pasti antagonis. Gak bisa dipungkiri, mereka pasti ingin mempertahankan argumen mereka meski diserang dari berbagai sisi. Ujung-ujungnya mereka bakal melakukan pembelaan berdalih persepsi."
"Kamu sok tahu." Posisi Rihga sudah tak terselamatkan lagi. Kali ini, Rihga merelakan dirinya kalah.
"Bukan, bukan sok tahu. Walaupun Kak Rihga bilang aku mahasiswa kupu-kupu, tapi gak sekali dua kali aku ikut diskusi di kelas. Dan fenomena seperti yang aku sebutkan tadi, banyak terjadi. Jadi, lebih egois mana dengan orang yang hanya diam mendengarkan? Lebih luas wawasan siapa dengan orang yang hanya membaca atmosfir sekitarnya? Orang-orang seperti itu juga cerdas loh, Kak Rihga. Memang gak cerdas dalam konteks berorasi atau sebagainya, tapi mereka cukup cerdas membaca situasi."
Rihga hanya berdecak. Tak lagi punya argumen sebab sedikit banyak pernyataan Kanaya menyinggung dirinya. Hari ini jadi jauh berkali lipat lebih menyebalkan. Rihga semakin muak dengan hidupnya dan tak sabar ingin segera cepat pulang, mendinginkan kepalanya yang terasa terbakar.
"Kak Rihga?" Kanaya memanggilnya.
Lewat gestut tubuhnya, Rihga bertanya ada apa.
"Kak Rihga gak penasaran kenapa aku selalu kelihatan menentang Kak Rihga, saat aku sendiri pernah bilang kalau aku suka sama Kak Ri---kiri!" Kanaya memeluk bukunya. Rihga berdecak  kesal. "Aku duluan, Kak Rihga. Hati-hati pulangnya," ujarnya.