"Persetan dengan skripsi, dengan kelulusan! Kegagalan yang wajar itu cuma sekali dua kali, Al. Ini sudah hampir sepuluh kali. Itu dosen bener-bener minta disumpahin. Aku udah kerja keras, begadang tiap malam demi proposal tolol itu! Dan itu baru proposal."
Alby terperangah. Terbata-bata dia coba menenangkan Rihga dan rasa muaknya pada segala hal. "Ta-tapi, Ga! Ini sudah setengah jalan, loh. Tanggung kalau mau menyerah sekarang."
Rihga mendengus tak peduli. "Mau sebagus apapun usahaku, sepertinya memang gak akan dihargai di kampus ini, Al," cetusnya. "Mahasiswa dengan cap buruk, tukang orasi sana sini, demo ke sana ke mari, memperjuangkan hal yang 'kata orang' cuma biar dapat validasi, memangnya bisa lebih baik dari sampah?"
"Jadi aktivis itu keren kok, Ga! Sebagai teman, aku akui, aku bangga!"
Untuk kali kesekain, Rihga berdecak muak. "Cuma aktivis dan teman-teman seperjuangan aktivis yang bilang begitu. Udahlah! Aku mau pulang, Al."
Tanpa menunggu sahutan teman karibnya itu, Rihga beranjak. Sorot mata, kerutan di keningnya, dan betapa berantakannya rambut Rihga seperti sinyal untuk orang-orang agak tak mendekati apalagi bicara padanya.
Rihga muak, kesal, kecewa, dan marah yang entah harus dilimpahkannya pada siapa. Kurang enam tahun menjadi mahasiswa terasa sia-sia. Sangat sia-sia. Tak hanya orasinya yang berakhir pada istilah 'masuk kuping kanan keluar kuping kiri', proposal untuk skripsinya pun bahkan ditolak berkali-kali.
Sejak Rihga membuang proposalnya ke tempat sampah tadi, Rihga menanamkan di dalam dirinya untuk menunggu satu hal saja; surat pengeluarannya dari kampus. Toh, mau Rihga menyabet predikat cumlaude sekalipun, tak akan ada yang bertepuk tangan bangga padanya.
Rihga tak punya ibu yang menunggunya di rumah dengan sajian makan siang yang lezat. Tidak juga seorang ayah yang bisa dia ajak berbagi pikiran dan keluh kesah tentang politik, pemerintah, atau sumpah-serapah orang-orang tentang dunia yang 'katanya' tak adil ini. Satu-satunya keluarga yang Rihga miliki hanyalah abangnya, pria usia tiga puluh yang sehari saja tidak mencicipi alkohol, judi, dan wanita dalam hidupnya, maka nafasnya akan berada di kerongkongan, barangkali.
Dan tentu saja, mau dunia Rihga terbalik sekalipun, pria itu tetap tidak akan menoleh untuk menanyai keadaannya.
Rihga melambaikan tangan. Angkot biru pudar berhenti di hadapannya, dan segera Rihga melompat masuk. Matahari yang tengah giat-giatnya bersinar di atas sana membuat kepalanya semakin sakit. Saat ini, tak ada yang Rihga butuhkan selain kasurnya.