Bagian 2 dari cerpen Surat Putih dan Perjalanan Kereta
      Menjelang tengah malam, Renjana sampai. Anayati---ibunya, menyambutnya dengan wajah mengantuk, tetapi penuh raut kesenangan. Masakannya sudah dipanaskan, selimut baru sudah dirapikan, dan seperti masa ketika Renjana masih balita, wanita itu bahkan menyiapkan segelas susu cokelat hangat.
      "Tumben sekali," celetuk gadis itu sesaat usai melepas hoodienya, menyisakan kaos putih polos lengan panjang. Sesaat kemudian, Anayati tercengang lama ketika Renjana melepas jilbab instan warna hitam yang dikenakannya, menatap tulang selangka anak gadisnya yang terlalu menonjol.
      Namun, Renjana tak tampak lelah. Dia hanya mengeluh lapar.
      "Sudah lama sekali sejak terakhir kali kamu pulang." Anayati menyahut. Duduk di hadapan Renjana sembari menatap lamat-lamat wajah gadisnya.
      "Iya, ya, Bu? Sudah dua bulan saja rupanya."
      Benar. Biasanya, Renjana akan pulang dua minggu sekali ke rumahnya. Namun, dua bulan belakangan ini, gadis itu tidak pulang. Acap kali ditanya, alasannya selalu sama; tugasnya menggunung. Semakin meningkat angka semesternya, semakin menumpuk tugas-tugas yang membuatnya hampir gila, begitu katanya.
      Anayati memaklumi. Selagi Renjana baik-baik saja pun sudah cukup untuknya. Toh, wanita itu punya doa. Anayati selalu percaya, meski raganya tak senantiasa berada di sisi anak gadisnya, tetapi doa-doanya sudah lebih dari cukup untuk menjadi penjaga.
      "Apa tugas-tugasmu sudah selesai? Libur semester masih lama." Anayati bertanya. Agak cemas jika kali ini Renjana melakukan hal yang sama---mengambil cuti hanya untuk pulang ke rumah.
      Gadis itu mengangguk. Mulutnya penuh nasi putih hangat dengan sayur asam. "Semua sudah selesai, Bu," katanya setelah itu.