Sesuatu meledak dalam dadanya, menggumpal awan dan menjatuhkan air mata. Cemas. "Kalau begitu, pulanglah! Kalau tidak sanggup, Ibu dan Ayah yang akan menjemput," putusnya cepat. Di dalam hatinya kala itu, persetan dengan semua mimpi-mimpi besar anaknya.
Sayangnya, Renjana menolak. Masih banyak tanggung jawab yang katanya ingin dia selesaikan. Mereka sempat bersitegang. Anayati memaksanya pulang, sementara Renjana bersikeras untuk menetap di indekosnya.
"Aku sudah baik-baik saja, Bu. Sungguh! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," katanya sungguh-sungguh.
Sepanjang malam setelah hari itu, setelah Anayati gagal melunakkan sisi keras dalam diri putrinya, dia tak henti-hentinya berdoa. Dua kali sehari, Anayati menelepon, mendengar jawaban yang sama dari anak gadisnya setiap kali ditanya kabar. Meski begitu, Anayati tidak bisa tenang. Selama ini, Renjana hanya mengeluh letih, sulit bernafas, atau otot-ototnya yang keram. Kaki tidak bisa bergerak hingga jatuh di kamar mandi belum pernah terjadi.
Maka, meski wajah Renjana tampak riang, Anayati tak bertanya apa alasan anaknya itu ingin tinggal lebih lama di rumah. Sesuatu pasti telah berubah. Barangkali keyakinan Anayati pun akan dipaksa goyah.
***
Renjana sering kali meminta gaun panjang berwarna putih kepadanya. Sesering Renjana meminta, sesering itu pula Anayati menolak. Menerima kenyataan bahwa putrinya sedikit istimewa membuatnya hidup ditemani bayang-bayang menakutkan. Terlebih karena Anayati sudah hidup sangat lama dan menjumpai begitu banyak tipe kehilangan.
Di perdebatan mereka perkara gaun putih, Anayati menolak mentah-mentah. Dengan sedikit ancaman---berhubung Renjana bukanlah anak yang senang membangkang---wanita itu mengatakan tidak akan memberikan izin Renjana memakainya. Ancamannya berhasil. Berbulan-bulan topik gaun putih terlupakan begitu saja.
Namun, pagi ini di selasar rumahnya, Renjana duduk termenung. Di dekatnya ada toples keripik bawang yang tidak dibuka, sebuah novel dengan sampul hitam, dan kacamata bacanya. Ini, sudah hari ke-lima Renjana melakukan hal yang sama setiap paginya. Aktivitas yang cukup meresahkan jiwa Anayati yang berulang kali menjumpai kematian dalam hidupnya.
Anayati mendekatinya. Sorot mata anak gadisnya telah berubah. Tidak lagi berwarna dan memancarkan kehidupan. Pilu. Seperti ada belati yang tiba-tiba menusuk tepat ulu hatinya melihat pemandangan itu. Dengan tergopoh, ditinggalkannya selasar menuju belakang rumah, tempat suaminya menyirami tanaman-tanaman mereka.
"Renjana!" serunya. Tak butuh waktu panjang untuknya berakhir di lantai dan tersedu.