"Kue buatan Ibu, enak," katanya. Padahal, sudah sejak lama Renjana membenci cokelat ada dalam makanannya.
Gadis itu menepuk-nepuk ujung jari, mengenyahkan remah-remah kue di tangannya sebelum berbaring di paha Anayati. Ibu dan anak itu hening menonton kartun. Kali itu, bukan lagi Renjana yang menyisiri rambut Anayati. Sebaliknya, wanita itulah yang mengusap-usap kepala Renjana, sebagaimana yang dia lakukan saat gadis itu kecil dulu.
"Aku sangat letih, Bu," akunya tiba-tiba. Matanya terpejam. "Rasanya seperti aku sudah hidup sangat lama. Seperti sudah melalui perjalanan yang sangat panjang, tapi kupikir aku belum menghasilkan apapun."
"Menjadi seorang anak juga merupakan usaha yang hebat, Renjana." Anayati menyahut. Belum berhenti mengusap kepala anaknya. "Ibu dan Ayah selalu bangga memiliki kamu."
"Kalau begitu, perjalanan panjangku adalah menjadi anak yang baik, bukan?"
"Begitulah."
"Apa Ibu dan Ayah senang? Apa aku tidak pernah mengecewakan?"
Anayati menggeleng. Berharap anaknya hanya memejam. Wanita itu terlalu takut melihat sorot matanya yang sudah mati. "Kamu kebanggaan Ayah dan Ibu, Renjana."
Kedua sudut bibir Renjana tertarik, membentuk lengkungan tipis yang manis. "Itu artinya perjalanan panjangku sudah selesai, Bu."
Anayati menelan bulat-bulat kesedihan dan rasa sakitnya. Perjalanan panjang yang dimaksud Renjana adalah waktu yang berjalan sangat cepat untuk Anayati. Wanita itu belum menyaksikan banyak hal, belum melakukan banyak hal. barangkali, jika Raiz tak senantiasa mengingatkannya untuk bersabar, sudah lebih dulu Anayati meraung meminta waktu yang lebih lama kepada Tuhan.
"Bu, aku tidak akan menikah," kata Renjana lagi. Matanya masih terpejam. "Pria yang kucintai sudah menikah dengan orang lain. Sedangkan pria lainnya, seseorang yang baru kutemui akhir-akhir ini, terlalu baik. Aku tidak ingin menjadi orang yang serakah dengan menyiksa orang yang menyayangiku, Bu."