"Nak, mereka yang benar-benar menyayangimu tidak akan pernah merasa benar-benar tersiksa. Karena dengan bersama orang yang mereka sayangilah mereka merasa hidup."
Seperti itulah isi di dalam hati Anayati untuk anak satu-satunya.
"Tapi, Bu, aku tidak ingin serakah," bantah Renjana. Sekonyong-konyong, dia membuka mata. Pilu di dalam hati Anayati menjadi menatap sorot matanya yang tak bernyawa. Sayang, kemampuannya untuk menahan air mata tak lagi bisa diandalkan. Wanita itu cepat-cepat mengusap sudut matanya.
"Kalau begitu, tidak apa-apa," ujar Anayati dengan suara serak menahan tangis. "Kalau menjadi serakah sangat memberatkan kamu, Ibu akan ikhlas, Sayang. Ibu tidak akan menuntut apapun."
"Ayah juga pasti setuju denganku, kan?"
Anayati hanya mengangguk. Andai Anayati setegar Raiz, barangkali dia bisa merangkai kata-kata yang bisa dibawa Renjana sebagai hadiah perpisahan.
Renjana memejamkan matanya kembali. Deru nafasnya pendek, tetapi tidak tersenggal. Dalam pejam matanya, gadis itu menyebutkan satu-satu keinginannya. Semua yang akan dikabulkan Anayati dengan kucuran air mata.
"Bu, aku juga tidak ingin sekolah lagi."
"Aku juga tidak akan menulis lagi."
"Aku mau tinggal di sini selamanya, Bu."
"Jangan lupa belikan aku gaun putih, ya, Bu. Aku mau memakainya di hari lebaran tahun depan."