"Ibu tahu, aku anak yang pendiam. Aku terlalu sungkan, tapi tolong bilang pada Ayah bahwa keinginannya sudah tercapai. Aku sudah jadi anak yang sangat tangguh."
Dari semua keinginan-keinginan Renjana, tak ada yang begitu sulit untuk dikabulkan Anayati, kecuali permintaan terakhirnya. Permintaan terakhir sebelum matanya tak lagi terbuka, dan deru nafasnya berhenti. Permintaan terakhir yang benar-benar terakhir.
"Bu, jangan bangunkan aku, ya. Aku ingin tidur."
***
Setiap pagi, Anayati masih memasak kue cokelat. Lalu, di sore hari Raiz akan membagi-bagikannya pada anak-anak yang bermain bola di lapangan dekat rumahnya. Acap kali usai melakukannya, Raiz merasa Renjana tengah menunggunya di depan pintu dengan senyuman lebar. Â
"Aku sudah buatkan teh untuk Ayah." Â Lalu, suara itu akan berdengung cukup lama di telinganya. Tersimpan sangat apik di dalam kepalanya.
Pun dengan Anayati. Suara dan bayangan anak gadisnya masih sangat terasa dekat. Anayati kehilangan raganya, tetapi tidak jiwanya. Kue cokelat dan gaun putih yang kini tersimpan rapi di lemari Renjana senantiasa mengingatkannya bahwa putrinya tidak sepenuhnya meninggalkannya.
Selain itu pula, Renjana masih hidup dalam bentuk yang lain. Dalam bentuk seorang pria berkacamata yang menyambangi rumah Anayati dan Raiz setiap sore di akhir pekan. Dengan hati yang lapang, Raiz mengizinkan pria itu menjarahi kamar anaknya bahkan menjadikannya ruang baca---ada begitu banyak buku di sana.
"Renjana tidak benar-benar pergi. Aku menemukannya di dalam tulisan-tulisannya," katanya suatu hari. Pria itu juga menjadi langganan setia kue-kue cokelat buatan Anayati.
Sejak itu, kepercayaan Anayati menguat. Meski kematian telah menjemputnya, putrinya itu masih hidup di hati banyak orang. Termasuk di hati Ryshaka, pria yang memutuskan tidak menikah selamanya usai kematian Renjana. Â
***