"Saat aku mengganggu jam tidur kamu, Na?" tebak Alwi yang diangguki Nana dengan cepat.
      Saat itu, Nana mengatakan bahwa tak selamanya sesuatu yang kita percaya, bisa kita lihat, yang bisa kita rasakan keberadaannya pun bisa kita percaya---dalam konteks Ketuhanan. Bertahun-tahun setelahnya, Nana dihadapkan pada persoalan yang sama, dengan perasaan sebagai objeknya. Keberadaan Alwi yang membuatnya terbiasa, menjadikan Nana tak letih-letihnya bertanya. Padahal, hanya dengan merasa, menyelami perasaannya, semua pertanyaan itu bisa terjawab.
     Waktu dua bulan yang dihabiskan Nana dengan banyak kecurigaan seolah-olah menertawakannya sekarang.
     "Benar kan, Wi? Gak hanya pelupa, aku juga suka berkhianat sama diriku sendiri."
     "Karena itu, kamu butuh seseorang, Nana."
     Di hari ke-3.679, tawa mereka menguar lebih seirama dari biasanya.
     ***
Catatan : Jadilah pembaca yang bijak, jauhi plagiarisme, dan sertakan nama penulis dan situs web apabila cerpen ini ingin dikutip ke media lain. Terima kasih, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H