Nana menghela nafasnya. Alwi menoleh dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas. Akhirnya, riuh dalam kepala keduanya teredam. Pria itu mangut-mangut. Menggulung lengan kaosnya hingga sebatas siku sebelum menyandarkan tubuh ke kursi.
      "Aku penasaran, Na. Kalau hanya persepsi yang mengantar kamu ke sini, kenapa baru sekarang? Toh, selama sepuluh tahun terakhir, aku selalu memberi kamu ruang sendiri. Entah saat kamu menulis bagian klimaks novel kamu, saat kamu membaca novel berkonflik berat, atau bahkan saat kamu hanya mau sendiri tanpa alasan. Tapi, kenapa baru sekarang kamu ke sini?"
      Kening Nana berkerut. Senyum pria di depannya tampak mengejek. Wajah yang mengingatkan Nana pada masa-masa sekolahnya. Pada wajah merah padam terbakar matahari saat mengikuti perkemahan, wajah mengantuk di siang hari saat dijejali mata pelajaran Matematika, atau bahkan wajah bingung saat mengerjakan berpuluh-puluh soal berbahasa Arab yang memusingkan kepala.
      Waktu berjalan. Keadaan menyesuaikan. Dan mereka, masih sebatas teman.
      "Kenapa kamu gak pergi saja, Wi? Pergi yang jauh."
      "Pergi ke mana?"
      "Ke mana saja. Ke tempat-tempat yang mungkin gak ada aku di dalamnya."
      "Banyak tempat yang aku kunjungi, yang kamu gak ada di dalamnya, Nana."
      "Tapi bukan untuk waktu sebentar."
      "Selamanya? Lalu kamu? Aku gak pergi saja, kamu cari, Na. Bagaimana kalau aku pergi dan gak kembali lagi?"
      "Buktinya kamu pergi. Hilang malah."