"Entahlah." Hanya satu jawaban tak memuaskan. Nana tahu, sepanjang perjalanan pulang pria itu akan memburunya dengan banyak pertanyaan menjerumuskan lainnya.
      "Yang pasti bukan karena isu kepercayaan, kan? Bukan karena alasan-alasan kekeluargaan juga. Jangan mengelak, aku sempat mengobrol dengan Ibu kamu dua minggu yang lalu. Lalu apa, Na?"
      Nana tidak menyahut hingga kereta berhenti. Hingga Alwi menjawab sendiri pertanyaannya dengan sederet kalimat sederhana, tetapi cukup menusuk. "Karena kamu terlalu pemikir."
      Hubungan mereka tetap berjalan baik setelahnya. Alwi masih menjadi teman yang menemaninya mencari buku baru di akhir pekan, dia masih kerap menonton pertandingan sepak bola, atau menjadi tamu di acara-acara keolahragaan yang diadakan pria itu. Alwi juga masih sering membaca puisi-puisinya yang berat kata hingga membuat pria itu mengeluh. Sebagai gantinya, Nana akan memotong jam kerjanya untuk menemani pria itu membeli kemeja baru.
      Semuanya berjalan seperti biasa. Namun lagi-lagi, tidak di hari ke-3.679.
       Tidak ada pertandingan olahraga. Tidak ada buku atau kemeja baru. Tidak ada dua cangkir kopi mengepul yang menemani mereka mempertanyakan tentang Tuhan, tentang manusia-manusia menyebalkan, atau hal-hal kecil di muka bumi.
      "Na, bagaimana kalau suatu hari, salah satu di antara kita ... hilang?"
      "Bagaimana kita menyikapinya, itu tergantung waktu dan keadaan. Tapi bagaimana itu terjadi, aku bisa memperkirakannya."
      "Karena apa?"
      "Karena salah satu di antara kita, atau kita berdua, menyakiti atau tersakiti satu sama lain."
      Nana tersentak ingatannya sendiri. Lantas ingatannya bergulir ke hari ke-3.629 semenjak dia mengenal Alwi. Ya, di sana titik tolak masalahnya. Dan, Nana sebagai pelaku berkedok korbannya. Meninggalkan ponselnya yang akhirnya mati sendiri, laptop yang ditutup asal, dan buku-buku yang masih enggan ia bereskan, Nana meninggalkan rumahnya.