Di Antara Mimpi-Mimpi #2
Oleh : Hesti Edityo & Michael Sendow
[caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="image from : ungkapanfie.wordpress.com"][/caption] Simbok sakit, mbak.
Sebuah pesan pendek dikirimkan Darno pagi itu. Ruminah menghela nafas yang terasa berat. Dua tahun lebih ia merantau ke negeri orang, memendam rindu pada orang-orang yang dikasihinya. Termasuk Simbok yang sekarang sakit. Semenjak pikiran Simbok teracuni oleh anggapan orang-orang tentang dirinya, Simbok sering mengeluhkan kesehatannya yang menurun.
"Kamu mau pulang, Rum?" Mbak Indah yang sudah tahu sms dari Darno menatap Ruminah.
Ruminah tertunduk, tak menjawab. Saat Mbak Indah sekeluarga pulang ke Indonesia kemarin dulu, Ruminah tak ikut karena sedang ujian. Ruminah ingat, Mbak Indah mengijinkan Ruminah pulang di lain waktu. Tapi kali ini, Ruminah tahu sekali Mbak Indah sedang repot pekerjaannya, dan Vio tak mau diam.
"Rum!" tangan Mbak Indah menepuk punggung Ruminah pelan. Ruminah tersentak. "Eh, tapi Ibu kan sedang banyak pekerjaan, sedang repot."
"Papanya Vio bisa ambil cuti, Rum, untuk bantu Ibu." Mbak Indah tersenyum lembut, ia tahu sifat Ruminah. Mudah sungkan dan tak enak hati. "Mungkin, Simbokmu kangen kamu, Rum."
Ruminah menatap Mbak Indah, ragu. "Benar tidak apa-apa, kalau Rum pulang, Bu?" Mbak Indah mengangguk, "kamu kan punya hak untuk itu. Siapa tahu Simbokmu sembuh dengan kedatanganmu."
***
Untuk kedua kalinya Ruminah menginjakkan kaki di John F. Kennedy Airport. Sedikit gugup, karena ini penerbangan pertamanya sendirian. Untunglah John bersedia mengantar dan menemani hingga pesawat lepas landas.
"Lamakah kau di Indonesia, Rum?" John menatap gadis di depannya dengan perasaan tak menentu. "Seminggu, mungkin. Yang jelas tak terlalu lama, banyak tugas yang harus aku selesaikan, termasuk tugas kuliah bukan?" "Okay!" John tersenyum, meski baginya seminggu tak bertemu Ruminah bagaikan seabad.
Sesaat sebelum pesawat lepas landas, John menyodorkan sebuah novel. "Untuk teman perjalananmu, jangan lupa telepon aku nanti!"
Ruminah mengangguk, menerima novel tebal pemberian John. "Thanks, John".
Beruntung Ruminah mendapatkan tempat di sisi jendela pesawat. Ia menatap ke bawah, pesawat perlahan terus mengangkasa, membawa Ruminah pulang menemui Simbok.
Ruminah menyandarkan tubuhnya, membuka novel pemberian John. Sepucuk surat terselip di sana.
***
"Rum?" Mata Simbok berbinar, melihat siapa yang ada di depannya. Ruminah memeluknya erat, pelukan penuh kerinduan.
Simbok tampak kurus. Mungkin karena sakitnya itu. Mata Ruminah basah, tak tega rasanya melihat orang yang dikasihinya dalam keadaan lemah.
"Akhirnya, kau pulang juga, Rum." Simbok melepas pelukan, mengusap kepala Ruminah penuh kasih sayang.
Ruminah mengangguk, "Ya, Mbok. Bu Indah mengijinkan aku pulang menemui Simbok, beliau juga titip salam untuk Simbok."
"Wa alaikum salam..." Simbok tersenyum menatap Ruminah, anak gadisnya terlihat lebih cantik, lebih bersih dan semakin anggun. "Kamu di sana baik-baik saja, tho, Rum?"
"Mbok, Rum selalu mengingat semua nasehat Simbok. Dimanapun Rum berada, entah di Amerika, entah di sini. Mungkin Rum bisa membohongi Simbok, tapi Rum tak bisa membohongi yang Di Atas. Gusti Allah nggak pernah sare, kan, Mbok? Itu yang selalu Rum ingat. Rum tak mau hidup Rum tidak membawa berkah hanya karena Rum tergoda silaunya dunia. Simbok tak perlu berpikir macam-macam, Rum baik-baik saja di sana." Ruminah bertutur dengan lembut, namun penuh ketegasan. Seolah ingin meyakinkan Simbok.
"Mbok, Rum sungguh bersyukur bisa bertemu dengan Bu Indah. Jika Rum berbuat aneh-aneh, Rum tak hanya mengecewakan Simbok, tapi juga mengecewakan Bu Indah. Itu artinya, Rum tak pandai bersyukur dan berterima kasih."
Simbok kembali mengusap kepala Ruminah, menatapnya dalam-dalam. Dan tak ada sedikitpun keraguan yang bisa ditemukannya di dalam diri anak gadisnya. Ya, Ruminah tak mungkin berbuat macam-macam seperti yang dikatakan tetangga-tetangganya. Kedalaman batinnya dapat merasakan kejujuran Ruminah.
Selama seminggu Ruminah berada bersama-sama Simbok, suasana hati Simbok menjadi lebih tenang dan nyaman. Simbok begitu bahagia anak gadisnya bisa pulang menemuinya. Baginya, seminggu bersama Ruminah di saat-saat seperti ini sungguh berarti dan tak tergantikan dengan sekedar kiriman uang sebanyak apapun. Sekarang Simbok hanya butuh melihat, mendengar dan memegang Ruminah. Ruminah seorang.
***
Rum mengepak barangnya dengan mata basah. Satu minggu terasa sangat singkat untuk Rum. Rindunya belum tertuntaskan sepenuhnya. Tapi apa daya, masih ada kewajiban lain yang menantinya.Ia masih harus menapak jalan menuju tangga impiannya. Ia harus kembali ke Amerika.
Mata Rum melihat ke sekeliling kamarnya, kamar sederhana yang selalu dirindukannya. Matanya beralih pada sebuah benda di atas meja.
"Astaga, novel dari John! Surat! Ya, surat itu belum kubaca sama sekali!"
Ruminah bergegas membuka lembaran halaman novel, tapi tak ditemukan sepucuk suratpun disana. Semua laci lemari bajunya diperiksa. Tak ada!
"Cari, apa, tho, Rum?" Ruminah tersentak, Simbok tahu-tahu sudah di dekatnya. "Emm...cari surat, Mbok..." Jawab Rum pelan. "Ini maksudnya...?" Simbok bertanya sambil memberikan sepucuk surat. Suratnya John. "Eeh, iya Mbok....kok suratnya ada di Simbok?" Tanya Ruminah heran. "Lho, surat itu ada di kasur Simbok, semalam kan kamu tidur sama Simbok, mungkin terjatuh sebelum sempat kamu baca, Rum!" Ruminah dengan agak malu-malu mengambil surat itu dari tangan Simbok. "Surat penting, Nduk?"
Ruminah hanya tersenyum tipis, malu ia untuk berterus terang. Lagipula ia belum membacanya memang, seminggu berada di rumah membuatnya lebih fokus ke Simbok dan Darno.
"Aryo jadi mengantarmu nanti sore?" tanya Simbok, tanpa mempermasalahkan surat Rum lagi. Mungkin Ruminah sungkan membicarakannya, begitu pikir Simbok.
"Jadi, Mbok." Rum menjawab singkat. Aryo kemarin menyanggupi untuk menemani Rum ke Jakarta, ke bandara Soetta. Sekalian Aryo ada wawancara kerja di sebuah perusahaan media ternama nasional.
"Rum, boleh Simbok tanya sesuatu?" Ruminah menoleh, menatap Simbok dengan wajah bingung. "Tanya apa, Mbok?" "Aryo itu apamu, Rum?" Pertanyaan pendek dan halus Simbok mengejutkan Ruminah. "Ha..hanya..teman, kok, Mbok..." Tergagap Rum menjawab. "Kalau temanmu di Amerika sana, yang kamu bilang sering menolongmu itu, apa cuma teman juga?" "John, maksud Simbok?" Simbok mengangguk, "Ya."
Ruminah menghela nafasnya, ia mencoba meraba-raba arah pembicaraan Simbok. "Dua-duanya Cuma teman, Mbok!"
Simbok tersenyum, memegang tangan Rum dengan kelembutan seorang ibu. "Nduk, kamu sudah semakin dewasa.
[caption id="" align="alignright" width="250" caption="from: to.gstatic.com"][/caption] Simbok percaya denganmu. Memang sudah waktunya, kamu mulai memikirkan sosok laki-laki dalam hidupmu. Tapi kalau boleh Simbok ngomong, pilihlah yang betul-betul tepat. Jangan salah pilih, Nduk. Carilah laki-laki yang welas asih, mau mengerti, mengayomi, mau menerima kamu dan keluargamu apa adanya, dan satu lagi, yang bisa menjadi imam dalam keluarga. Kamu paham, tho, Rum?" Ruminah hanya menunduk. Ia paham apa maksud Simbok, sangat paham bahkan. "Aku masih mengejar mimpiku, Mbok..."
***
Sepanjang perjalan ke Jakarta hingga ke Airport Ruminah tak banyak bicara. Hatinya masih galau. Hatinya masih belum ingin berpisah dengan Simbok yang teramat dikasihinya itu.
Aryo yang menemaninya selama perjalanan pun tak kuasa mengubah situasi. Ia mungkin memahami betul perasaan dan kedalaman hati Ruminah yang seakan tak mau diganggu. Saat ini mungkin yang ada dalam pikiran dan hati Ruminah hanyalah Simbok.
Dengan penuh kesabaran dan pengertian Aryo memberikan sapu tangan bersihnya tatkala melihat Ruminah terus meneteskan air mata. Dalam diam pun Aryo terlihat sangat bijaksana dan dewasa. Itulah yang berbeda antara Aryo dan John. Aryo terlihat lebih pendiam, bahkan mungkin sangat pendiam. Sedangkan John? Luar biasa cerewet. Apalagi kalau lagi menasehati Ruminah, suka lupa berhenti bicara.
Akhirnya tibalah mereka di Airport. Waktu sudah sangat mepet. Cepat-cepat Ruminah mempersiapkan boarding pass-nya dan bergegas masuk. "Terima kasih, Mas, sudah mengantarku. "Ucap Rum kepada Aryo yang dipanggilnya Mas, sebagaimana lazimnya orang Jawa memanggil orang yang lebih tua atau dituakan.
Aryo tersenyum hangat, dan menatapnya penuh arti. "Hati-hati, Rum..." Dijabatnya tangan Rum erat. "Aku pasti merindukamu, Rum!"
Setengah berlari, Rum masuk ke dalam. Kalimat terakhir Aryo sesaat sebelum masuk tadi masih terngiang di kepalanya. Ada setitik perasaan aneh yang menghuni sudut hatinya ketika mengingat perjalanannya bersama Aryo, meski mereka lebih banyak diam. Perasaan aneh yang juga dirasakannya saat bersama John....
Pesawat yang akan membawanya kembali ke Amerika sudah mengudara. "Selamat tinggal Indonesia...I'll see you again pretty soon!" jerit Rum dalam hati. Matanya terus menatap ke bawah melalui jendela.
Sejam sudah pesawat yang membawa Ruminah lepas landas. Masih tersisa 23 jam untuk mencapai New York. Perlahan namun pasti tangan Ruminah mengeluarkan sesuatu dari dompet kecilnya. Surat dari John. Dengan penuh perasaan dibukanyalah surat itu. Bagi Ruminah surat itu penting. Lebih penting dan berharga dari surat berharga yang dikeluarkan dan dicetak oleh bank.
Matanya mulai menapaki huruf demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat dalam surat itu. Nafasnya kadang tertahan. Matanya kadang melotot. Dahinya pun tak jarang berkerenyit. Tentu isi surat itu bagai nano-nano. Banyak warna. Banyak rasa.
Ada beberapa kalimat yang membuat Ruminah tersentuh dan seakan tak percaya. Ia tak percaya bahwa John sebaik itu.
Sebagian isi surat itu terbaca...." Rum, memang saya belum lama kenal kamu. Tapi saya berusaha menjadi teman kamu yang baik. Kalau boleh, saya berusaha menjadi yang terbaik. Kamu pulang ke negara asalmu hanya seminggu. Tapi kamu tahu, kehilangan teman sebaik kamu 1 minggu luar biasa berat buat saya.....
Ruminah....saya tahu persis rencana-rencanamu, cita-citamu dan usaha-usahamu. Kamu selalu bercerita dan berbagi tentang mimpi-mimpimu yang luarbiasa itu. Itu semua adalah mimpi-mimpi termulia yang pernah saya dengan. Tak satupun teman-temanku yang memiliki mimpi setara dengan mimpimu.
.......Kamu ingin mendirikan sekolah atau yayasan yang bisa menyekolahkan anak tanpa bayar. Supaya semakin banyak anak putus sekolah dan yang tak mampu, boleh akhirnya merasakan bangku sekolah. Serta impian-impianmu yang lain. Bagi saya kamu malaikat untuk anak-anak yang bakalan kamu bantu.
.....Saya janji, saya akan bantu dan sokong usahamu sekuat yang saya bisa. Kalau pun saya harus berkorban materi untuk itu saya ikhlas. Bahkan kalau kamu mengijinkan, karena saya juga punya kawan-kawan LSM di Bali, suatu ketika nanti, pada saat kamu akan memulai usahamu di Indonesia....saya akan itu membantumu di sana. Saya pasti ke Indonesia Rum!...."
Ruminah terpaku diam. Surat itu basah oleh airmata. Hati dan pikirannya campur aduk antara Simbok, Aryo, John dan anak-anak putus sekolah. Akhirnya matanya tertutup rapat. Lelah. Ia pun tertidur. Pulas.
***
Episode sebelumnya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H