Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pongo, Sang Raja Kera dalam Sebuah Cerita Fabel

7 Januari 2021   18:34 Diperbarui: 7 Januari 2021   18:46 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah, dalam sebuah cerita fabel tentang seekor raja kera yang bijaksana dan mengayomi rakyat kaumnya.

Beban yang sangat berat bagi Pongo untuk mempertahankan wilayahnya dari serbuan modernisasi zaman yang mencoba untuk menyingkirkan peradababan kaum nya, kehabisan sumber makanan memaksa mereka untuk mengemis makanan untuk dimakan.

"Para kaumku, kalian tahu bahwa kerajaan kita sudah diancam kepunahan, bagaimanapun juga kita harus mempertahankan dengan segala apa yang kita bisa. Kita tidak seharusnya seperti ini, karena bagi kita mengemis dan meminta minta bukanlah budaya kita dan tidak pantas untuk kita lakukan. Tetapi keadaan ini memaksa kita harus mempertahankan generasi kita kedepan."

"Huhuhuhuhuhuhuhuuhu." Kaumnya bergemuruh semangat sesaat setelah Pongo menyampaikan pidatonya.

" Ayo, bekerjalah untuk hari ini, supaya ada untuk kita makan."

" Siap Baginda Raja."

Setiap hari Pongo, raja dari kaum kera yang berada di wilayah Sibaganding, Parapat, memberikan semangat kepada kaumnya agar tetap semangat untuk mempertahankan kehidupan kaum kera yang sudah lama mendiami kerajaan yang mereka dirikan. Semula kerajaan mereka sangat kaya akan sumber makanan dan begitu rindang, tetapi beratus-ratus tahun lamanya keadaan kerajaan mereka tidak lagi sama seperti dahulu. Situasi saat ini terancam kepunahan.

" Aku harus mempertahankan generasi kita dari kepunahan." katanya dengan lirih kepada Popo, abdinya yang setia yang selalu melayani dan menemaninya.

" Hari ini aku mau ikut bersama kaum ku, untuk mengemis makanan."

" Baik Baginda Raja."

Disepanjang jalan raya daerah Sibaganding yang menuju dari dan ke Kota Parapat, Pongo beserta kaumnya ada yang berdiri dan duduk berbaris dengan wajah memelas agar mereka dikasihani oleh penumpang mobil yang melintasi daerah itu. Ada yang melemparkan makanan biscuit, kacang, buah dan macam-macam. Bahkan ada yang tega melemparkan kulit makanan dan sampah kearah Pongo dan kaumnya yang sungguh merasa kasihan harus sampai seperti itu.

" Woi, kalau mau gak mau kasi makanan, jangan melempar kulit makanan atau sampah dong." Sebagian dari mereka meneriaki ulah manusia yang didalam mobil.

Melihat demikian, kesedihan Pongo bertambah, ternyata sungguh memilukan kehidupan kaumnya setiap hari mengemis makanan dari manusia yang layaknya dikatakan mahluk yang punya akal, hati nurani, dan melebihi dari binatang ternyata tidaklah mencerminkan layaknya seorang manusia yang kadang-kadang tidak punya belas kasih.

" Sudahlah Baginda Raja, jangan bersedih."

" Iya, Popo, tapi kaumku...kaumku dihina seperti itu oleh kaum manusia. Ini ulah mereka yang membuat kita seperti ini. Ini ulah mereka. Mereka harusnya memperhatikan kelansungan hidup kita. Bukan membantu, malah ketawa mengejek yang terlihat dari celah kaca mobil yang mereka naiki."

" Iya, Baginda. Biar lah mereka seperti itu, karena mereka mungkin sudah dibutakan oleh hedonisme dunia."

Hari ini makanan yang mereka dapatkan cukuplah untuk kebutuhan 2 atau 3 hari kedepan. Tidak semua yang mendapat makanan waktu mengemis di pinggir jalan raya. Tapi itulah kebaikan Pongo, Sang Raja Kera. Dia selalu bersikap adil kepada kaumnya tanpa ada membeda-bedakan. Karena kalaupun ada yang tidak membawa pulang makanan hasil mengemis, tidak menjadi masalah bagi Pongo. Yang paling penting baginya adalah setiap makanan yang terkumpul hasil mengemis harus dibagi rata kepada setiap kera tanpa terkecuali. Dan tidak ada penghargaan yang berlebihan yang diberikan Pongo kepada Kera yang membawa banyak makanan dari hasil mengemis. Perlakuan adil Pongo ini, menimbulkan ketidaksukaan dari salah seekor dari kaumnya kepada Pongo.

" Aku tidak terima, pokoknya aku tidak terima dengan sikap Pongo yang tidak membagikan makanan yang kita bawa secara adil bagi semua. Harusnya aku dapat lebih banyak karna aku juga bawa banyak makanan hasil dari mengemis. Aku sudah berpeluh keringat dibawah terik matahari mengemis dari pagi sampai petang. Tapi apa, Pongo tidak bersikap adil."

" Sudah, sabar Poco. Bisik Pobo padanya. Nanti ada saatnya kita ambil kekuasaan ini dari tangannya. Tenang saja." Katanya kepada teman konspirasinya itu dengan mata sinis dan penuh dendam. Kebencian dalam diri Poco, diperalat oleh Pobo untuk berkonspirasi membunuh Pongo. Perasaan yang sama ketika hal yang sama dirasakan oleh Pobo 2 tahun yang lalu yang dia pendam sampai hari itu.

Rencana jahat untuk membunuh Pongo mulai Pobo dan Poco susun. Mereka berdua menyusun strategi dan memikirkan cara dan kapan waktu yang tepat untuk membunuh raja mereka sendiri. Hari demi hari mereka tetap seperti biasa mengemis di atas jembatan jalan raya Sibaganding.

" Aku belum tau caranya bagaimana membunuh Pongo."

" Aku juga bingung, karna tidak ada celah sedikitpun untuk bisa membunuhnya. Pengawal setianya selalu nempel bersamanya. Belum lagi pengamanan yang super ketat. Berlapis-lapis, layaknya seorang presiden di Jaman Orde Baru jaman ketika kerajaan kita masih kaya dengan makanan dan masih banyak pohon yang berbuah. Hahaha."

Sedang keduanya asik mengobrol, Popo ajudan Pongo tidak sengaja mendengar rencana jahat mereka, dan berjalan pelan balik kanan untuk segera memberitahu kepada Pongo, kalau 2 kera kaumnya, Pobo dan Poco hendak berencana membunuhnya dan mau mengambil kekuasaan darinya. Popo lalu menghampiri rajanya sujud dan menyampaikan apa yang didengarnya.

" Maaf mengganggu Baginda Raja."

" Ada apa Popo. Kenapa kau tergopoh-gopoh begitu."

" Iya Baginda, saya mau menyampaikan kepada Baginda."

" Apa yang hendak kau sampaikan."

" Tadi ketika aku berjalan ke arah lorong istana, tidak sengaja aku mendengar Poco dan Pobo lagi membicarakan rencana pembunuhan Baginda Raja."

"Apa? Rencana pembunuhan."

" Iya Baginda, Pobo dan Poco ingin merebut kekuasaan dari tangan Baginda."

" Ini tidak boleh dibiarkan. Tidak akan, sebelum mereka membunuhku, mereka harus dibunuh terlebih dahulu."

  " Jangan Baginda, jangan. Saya mohon Baginda. Lebih baik Baginda Raja membuang mereka ke Pulau Seberang. Karena di Pulau Seberang mereka bisa hidup tenang. Jangan kotori tangan Baginda dengan membunuh kaum kera. Ingat janji Baginda ketika Baginda dinubuatkan dan ditasbihkan menjadi Raja di Kerajaan Kera. Tentu Baginda tidak mau mengingakari janji Baginda kepada Sang Pencipta semesta. Aku mohon jangan baginda."

" Tidak Popo, aku harus membunuh mereka sebelum mereka membunuhku. Karna aku sudah brtjanji kepada kaum ku untuk mensejahterakan mereka. Aku tidak rela mati sebelum kaum ku sejahtera dan tetap berlanjut kehidupannya." Tidak menghiraukan peringatan dari Popo, Pongo tetap teguh dengan keputusannya.

" Pokoknya sebelum matahari terbit, mereka sudah harus mati."

" Siap Baginda."

Pongo bangun dari tidurnya. Waktunya telah tiba katanya dalam hati. Saat itu jam masih pukul 04.00 dini hari. Popo, pelayannya yang setia itu sudah bangun lebih dulu dan sudah menyiapkan senjata untuk digunakan membunuh Poco dan Pobo. Bak algojo, Pongo mengangkat Pedang Sakti yang dititiskan oleh malaikat pencabut nyawa.

" Apa Baginda tidak mempertimbangkan lagi keputusan baginda."

" Keputusanku sudah kuat dan aku siap menerima resiko dari semesta atas ingkar janjiku."

" Baik Baginda, kalau keputusan baginda raja sudah kuat."

" Ini teh sudah saya sediakan buat baginda." Pongo meminum perlahan teh hangat yang sudah disediakan Popo.

Dengan badan tegap, dia langkahkan kaki nya dengan tangan kanannya memegan Pedang Sakti. Dia pun siap untuk menghabisi nyawa kedua kaumnya itu yang dianggap seperti duri dalam daging. Saat itu pun tiba, mendapati keduanya masih tidur nyenyak, Pongo dengan beringas menghabisi nyawa keduanya hingga keduanya bersimbah darah. Dengan 1 hunusan pedang sakti, Poco dan Pobo pun mati. Sesaat menghunuskan pedang, Pongo merasa lemah dan penglihatannya berpendar. Tangannya mulai ringkih memegang pedang. Napas nya terasa sesak. Semakin lama semakin menjadi jadi hingga akhirnya dia terjatuh dan meregang nyawa.

" Maafkan saya Baginda, saya harus melakukan ini. Saya sudah memasukkan racun ke dalam teh Baginda sebelum saya berikan kepada Baginda. Karna saya menginginkan kekuasaan ini juga. Ini sudah lama saya inginkan." Popo merasa heran kalau raja nya itu tidak berubah menjadi manusia. Malahan tidak lama kemudian, ketika ayam berkokok, tubuh nya bergetar-getar hebat, bulu-bulu ditubuhnya perlahan lahan hilang berubah menjadi seperti kulit manusia. 

Akhirnya dia menyaksikan sendiri dirinya berubah menjadi manusia. Dia lupa satu hal wangsit dari pencipta semesta kepada rajanya itu, kalau raja Pongo membunuh salah seekor dari kaum nya dia akan berubah menjadi manusia kembali akan tetapi Raja Pongo tidak akan berubah menjadi manusia apabila dia dibunuh walaupun dia membunuh kaumnya sendiri. Akhirnya Popo tidak bisa menjadi raja dari kerajaan kera di Sibaganding tetapi dia menjadi Pawang dari Kaum Kera yang di Sibaganding.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun