Beberapa teman banyak yang ditolong Ajip. Di antaranya, HB Jassin yang terancam diusir oleh pemilik kontrakan saat itu. Ajip menghadap Bang Ali Sadikin dan memohon agar Bang Ali membantunya.
Namun, dalam kisah hidup Ajip kita dapat belajar bahwa jika kita telah berbuat baik, jangan pernah kita berharap terima kasih. Banyak teman yang sudah ditolongnya, tidak berterima kasih setelah ditolong. HB Jasin adalah salah satunya.
Setelah menerima bantuan dari Bang Ali, HB Jasin tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada Ajip. Sekadar ngomong pun tidak. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ada peristiwa yang cukup lucu berkenaan dengan Affandi, pelukis kesohor itu. Saat itu, Affandi yang sudah sepuh ingin naik haji. Lalu dia minta tolong kepada Ajip untuk dicarikan pendamping selama di Mekkah. Maka, Ajip pun mencari seorang pendamping dengan perjanjian: setengah biaya ONH pendamping ditanggung Affandi, setengahnya ditanggung Ajip. Rupanya, kabar ini didengar oleh Bang Ali yang kemudian mengongkosi ONH Affandi. Menyikapi hal ini Affandi tidak mengambil inisiatif untuk membayar setengah ONH pendamping yang ditanggung oleh Ajip. Jadi, tetap dengan kesepakatan semula. Hal ini diceritakan Ajip tanpa tedeng aling-aling.
Sahabat karibnya adalah Ramadhan KH dan Ilen Suryanegara. Mereka bertiga adalah inisiator Taman Ismail Marzuki. Mereka bisa meyakinkan Bang Ali untuk menyetujui tempat berkreasi bagi seniman Jakarta.
Sebagai orang independen Ajip tidak memandang aliran temannya. Pernah dia bersembunyi-sembunyi untuk bertemu dengan Utuy Sontani, sastrawan Lekra, yang bermukim di Rusia, saat Ajip berkunjung di sana. Saat itu Utuy sedang sakit keras dan tak ada orang yang mempedulikannya.
Ajip juga berhasil menemui Pram di Pulau Buru. Saat itu, Ajip bertugas sebagai staf ahli Menteri P&K.
Saat Rosihan Anwar kepingin naik haji lagi bersama istrinya, Ajip menawarkan untuk memberi royalti buku Rosihan di depan. Padahal, seharusnya royalti dibayar di belakang saat buku sudah terjual. Buku itu ditawarkan melalui proyek kepada Pemda DKI.
Pendidikan
Saat menjadi dosen di Sastra Unpad, Ajip menemukan bahwa banyak mahasiswa yang tidak bisa menulis skripsi. Bahkan, ada mahasiswa yang menawarkan kepadanya untuk membuatkan skripsinya, tentu saja dengan imbalan tertentu. Ajip marah besar. Dia menulis surat ke Ketua Jurusan yang dijawab,”Kalau Pak Ajip tidak mau membantunya, maka banyak dosen lain yang mau”. Tambah murkalah Ajip.
Sejak itu, Ajip berpikir kalau anaknya tidak akan dimasukkan ke sekolah umum. Maka, anaknya Uga pun dibawanya ke Gontor. Pada kesempatan pertama Uga tidak lulus sehingga harus masuk Pabelan, Magelang. Tahun berikutnya Uga bisa masuk ke Gontor hingga tamat. Setamat Gontor Uga masuk Universitas Tunisia. Namun karena pengantarnya bahasa Perancis, Uga sering ketinggalan.