Mohon tunggu...
Hery Azwan
Hery Azwan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud featured

Membaca Ajip Rosidi

28 Oktober 2009   09:07 Diperbarui: 30 Juli 2020   12:54 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang ini memang jenius. Pada umur 17 tahun sudah menerbitkan buku. Tidak punya ijazah SMA, tapi bisa menjadi dosen di Jepang selama 20 tahun. Ruarrrr biasa…

Aku membeli buku ini secara tidak sengaja pada acara Indonesia Library & Publisher Expo 2009 yang baru pertama kali diadakan. Kulihat ada buku tebal berjudul Hidup Tanpa Ijazah. Penulisnya Ajip Rosidi yang namanya tidak asing bagiku, walau aku belum pernah membaca satupun buku karyanya. Ajip pernah jadi ketua Ikapi tahun 1973-1979 sehingga aku yang sering bersentuhan dengan Ikapi cukup familiar dengan sosoknya.

Harganya cuma Rp 95.000 meski tebalnya lebih dari 1.200 halaman. Rupanya buku ini sudah disubsidi. Harga aslinya bisa mencapai 300.000. Atas saran Parakitri Simbolon, harganya dijual dengan sistem subsidi. Untuk orang tertentu dan para sahabat (kaya) dijual dengan harga premium, sedang untuk masyarakat dijual seharga tadi.

Buku ini sebenarnya sudah terbit pada bulan Januari 2008 untuk memperingati 70 tahun Ajip Rosidi, penulisnya. Jadi buku ini sejenis autobiografi. Ajip menyelesaikannya dalam satu tahun.

Tahu Potensi Diri

Salah satu yang menonjol dari Ajip adalah bahwa dia dapat mengenali kekuatan dirinya semenjak dini. Ajip yang lahir tahun 1938 di Jatiwangi, sejak SD sudah rajin membaca buku sastra. Dia juga sudah mulai membeli buku lewat pos. Bayangkan zaman dulu yang belum ada Amazon.com dan transportasi belum bagus.

Dia juga mulai menulis dan mengirimkannya ke media. Saat SMP dia sekolah di Jakarta menumpang pada seorang pamannya. Di sinilah dia bertemu dengan tokoh sastrawan nasional hingga diangkat menjadi pemimpin redaksi majalah Suluh Pelajar. Majalah ini oleh Depdiknas disebar ke seluruh siswa SMP di Indonesia.

Kelas 2 SMA dia sudah merasa mampu menafkahi dirinya, hasil dari menulis. Karena itu dia memberanikan diri untuk menikah. Umum yang sangat muda untuk saat itu, apalagi sekarang. Keluarga Ajip saat itu bahkan menanyakan apakah sudah terjadi kecelakaan kok mau cepat-cepat menikah.

Setelah bukunya terbit, Ajip semakin yakin bahwa menulis dapat diandalkan sebagai penopang hidup. Maka tatkala mendekati ujian akhir SMA, dia tidak mengikutinya. Hidup sendiri di Jakarta tanpa orangtua membuat Ajip merasa mampu memutuskan jalan hidupnya sendiri.

Setia Kawan

Salah satu nilai pribadi Ajip yang sangat patut dicontoh adalah solidaritasnya terhadap teman. Rumahnya, baik selagi mengontrak di Karamat Pulo yang sering banjir, maupun setelah punya rumah sendiri, selalu menjadi tempat transit teman-temannya. Tak jarang mereka mengobrol, atau untuk main gaple sekalipun, apatah lagi untuk tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun