Orang ini memang jenius. Pada umur 17 tahun sudah menerbitkan buku. Tidak punya ijazah SMA, tapi bisa menjadi dosen di Jepang selama 20 tahun. Ruarrrr biasa…
Aku membeli buku ini secara tidak sengaja pada acara Indonesia Library & Publisher Expo 2009 yang baru pertama kali diadakan. Kulihat ada buku tebal berjudul Hidup Tanpa Ijazah. Penulisnya Ajip Rosidi yang namanya tidak asing bagiku, walau aku belum pernah membaca satupun buku karyanya. Ajip pernah jadi ketua Ikapi tahun 1973-1979 sehingga aku yang sering bersentuhan dengan Ikapi cukup familiar dengan sosoknya.
Harganya cuma Rp 95.000 meski tebalnya lebih dari 1.200 halaman. Rupanya buku ini sudah disubsidi. Harga aslinya bisa mencapai 300.000. Atas saran Parakitri Simbolon, harganya dijual dengan sistem subsidi. Untuk orang tertentu dan para sahabat (kaya) dijual dengan harga premium, sedang untuk masyarakat dijual seharga tadi.
Buku ini sebenarnya sudah terbit pada bulan Januari 2008 untuk memperingati 70 tahun Ajip Rosidi, penulisnya. Jadi buku ini sejenis autobiografi. Ajip menyelesaikannya dalam satu tahun.
Tahu Potensi Diri
Salah satu yang menonjol dari Ajip adalah bahwa dia dapat mengenali kekuatan dirinya semenjak dini. Ajip yang lahir tahun 1938 di Jatiwangi, sejak SD sudah rajin membaca buku sastra. Dia juga sudah mulai membeli buku lewat pos. Bayangkan zaman dulu yang belum ada Amazon.com dan transportasi belum bagus.
Dia juga mulai menulis dan mengirimkannya ke media. Saat SMP dia sekolah di Jakarta menumpang pada seorang pamannya. Di sinilah dia bertemu dengan tokoh sastrawan nasional hingga diangkat menjadi pemimpin redaksi majalah Suluh Pelajar. Majalah ini oleh Depdiknas disebar ke seluruh siswa SMP di Indonesia.
Kelas 2 SMA dia sudah merasa mampu menafkahi dirinya, hasil dari menulis. Karena itu dia memberanikan diri untuk menikah. Umum yang sangat muda untuk saat itu, apalagi sekarang. Keluarga Ajip saat itu bahkan menanyakan apakah sudah terjadi kecelakaan kok mau cepat-cepat menikah.
Setelah bukunya terbit, Ajip semakin yakin bahwa menulis dapat diandalkan sebagai penopang hidup. Maka tatkala mendekati ujian akhir SMA, dia tidak mengikutinya. Hidup sendiri di Jakarta tanpa orangtua membuat Ajip merasa mampu memutuskan jalan hidupnya sendiri.
Setia Kawan
Salah satu nilai pribadi Ajip yang sangat patut dicontoh adalah solidaritasnya terhadap teman. Rumahnya, baik selagi mengontrak di Karamat Pulo yang sering banjir, maupun setelah punya rumah sendiri, selalu menjadi tempat transit teman-temannya. Tak jarang mereka mengobrol, atau untuk main gaple sekalipun, apatah lagi untuk tidur.
Beberapa teman banyak yang ditolong Ajip. Di antaranya, HB Jassin yang terancam diusir oleh pemilik kontrakan saat itu. Ajip menghadap Bang Ali Sadikin dan memohon agar Bang Ali membantunya.
Namun, dalam kisah hidup Ajip kita dapat belajar bahwa jika kita telah berbuat baik, jangan pernah kita berharap terima kasih. Banyak teman yang sudah ditolongnya, tidak berterima kasih setelah ditolong. HB Jasin adalah salah satunya.
Setelah menerima bantuan dari Bang Ali, HB Jasin tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada Ajip. Sekadar ngomong pun tidak. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ada peristiwa yang cukup lucu berkenaan dengan Affandi, pelukis kesohor itu. Saat itu, Affandi yang sudah sepuh ingin naik haji. Lalu dia minta tolong kepada Ajip untuk dicarikan pendamping selama di Mekkah. Maka, Ajip pun mencari seorang pendamping dengan perjanjian: setengah biaya ONH pendamping ditanggung Affandi, setengahnya ditanggung Ajip. Rupanya, kabar ini didengar oleh Bang Ali yang kemudian mengongkosi ONH Affandi. Menyikapi hal ini Affandi tidak mengambil inisiatif untuk membayar setengah ONH pendamping yang ditanggung oleh Ajip. Jadi, tetap dengan kesepakatan semula. Hal ini diceritakan Ajip tanpa tedeng aling-aling.
Sahabat karibnya adalah Ramadhan KH dan Ilen Suryanegara. Mereka bertiga adalah inisiator Taman Ismail Marzuki. Mereka bisa meyakinkan Bang Ali untuk menyetujui tempat berkreasi bagi seniman Jakarta.
Sebagai orang independen Ajip tidak memandang aliran temannya. Pernah dia bersembunyi-sembunyi untuk bertemu dengan Utuy Sontani, sastrawan Lekra, yang bermukim di Rusia, saat Ajip berkunjung di sana. Saat itu Utuy sedang sakit keras dan tak ada orang yang mempedulikannya.
Ajip juga berhasil menemui Pram di Pulau Buru. Saat itu, Ajip bertugas sebagai staf ahli Menteri P&K.
Saat Rosihan Anwar kepingin naik haji lagi bersama istrinya, Ajip menawarkan untuk memberi royalti buku Rosihan di depan. Padahal, seharusnya royalti dibayar di belakang saat buku sudah terjual. Buku itu ditawarkan melalui proyek kepada Pemda DKI.
Pendidikan
Saat menjadi dosen di Sastra Unpad, Ajip menemukan bahwa banyak mahasiswa yang tidak bisa menulis skripsi. Bahkan, ada mahasiswa yang menawarkan kepadanya untuk membuatkan skripsinya, tentu saja dengan imbalan tertentu. Ajip marah besar. Dia menulis surat ke Ketua Jurusan yang dijawab,”Kalau Pak Ajip tidak mau membantunya, maka banyak dosen lain yang mau”. Tambah murkalah Ajip.
Sejak itu, Ajip berpikir kalau anaknya tidak akan dimasukkan ke sekolah umum. Maka, anaknya Uga pun dibawanya ke Gontor. Pada kesempatan pertama Uga tidak lulus sehingga harus masuk Pabelan, Magelang. Tahun berikutnya Uga bisa masuk ke Gontor hingga tamat. Setamat Gontor Uga masuk Universitas Tunisia. Namun karena pengantarnya bahasa Perancis, Uga sering ketinggalan.
Akhirnya, tatkala Ajip sudah menjadi dosen di Jepang, Uga ikut belajar di sana hingga tamat S3 Sosiologi. Uga selanjutnya menikah dengan wanita Jepang.
Dengan Kyai Hamam, pimpinan Pondok Pabelan, Ajip sangat dekat. Adik Hamam akhirnya menjadi besan Ajip. Anak Ajip yang perempuan kebetulan juga dimasukkan ke pesantren Pabelan.
Dari Kyai Hamam juga Ajip dikenalkan dengan Romo Mangun. Biasanya saat berkunjung ke Pabelan, Ajip juga mampir ke rumah Romo Mangun di Yogya. Sebuah persahabatan yang tulus.
Mengajar di Jepang
Mulanya Ajip hanya ditawari setengah tahun untuk program Fellowship di Jepang, tetapi kemudian dia ditawari menjadi dosen bahasa Indonesia menggantikan dosen sebelumnya yang sudah pensiun.
Mengenai Jepang ini Ajip teringat masa kecilnya saat dipesankan oleh salah seorang keluarganya.”Ajip, belajar yang pintar, nanti biar sekolah di Tokyo”. Maklum, saat itu Indonesia sedang dijajah Jepang. Alih-alih belajar di Jepang, Ajip malah jadi dosen di Jepang. “Hidup memang aneh,” kata Ajip.
Di Jepang Ajip sangat terkesan dengan nilai-nilai kejujuran orang Jepang. Pernah Ajip membeli arloji seharga tertentu di sebuah toko. Pada saat membayar di kasir, harganya malah dikorting 20% karena arloji tersebut memang termasuk dalam program. Sementara Ajip tidak menyadari kalau ada program tersebut. Kalau di Indonesia, niscaya si kasir akan diam saja. (Mirip cerita Ime-chan tentang layanan internet provider di Jepang pada postingannya).
Kejujuran orang Jepang juga sangat mengesankan Ajip saat dompetnya jatuh di taksi. Sang penemunya anak muda berumur 20 tahun rela menunggunya di kantor polisi selama 2 jam. “Bandingkan kalau dompet Anda tertinggal di taksi Jakarta”, kata Ajip.
Menurut Ajip orang Jepang yang tidak terlalu peduli dengan agama tapi memegang teguh nilai-nilai kejujuran. Sementara orang Islam yang di kitab sucinya tertulis ajaran kejujuran, tapi pada kenyataannya banyak yang suka menipu. Timbangan dikurangi, korupsi dijalani, dsb.
Bahagia dan Menyesal
Salah satu kebahagiaan Ajip adalah saat diangkat sebagai anak oleh Mr Syafrudin Prawiranegara. Anak-anak Pak Syaf juga diminta Pak Syaf untuk menganggap Ajip sebagai abang mereka. Untuk memperingati 75 tahun Pak Syaf, Ajip menulis biografinya. Saat Ajip sakit jantung dan dirawat di RS Harapan kita, anak-anak Pak Syaf datang. Bahagia sekali hati Ajip.
Sebaliknya Ajip sangat menyesal waktu menulis biografi Pak Natsir, tokoh Masyumi. Biografi ini akhirnya tidak selesai karena anak Pak Natsir belum-belum sudah meminta bayaran dalam jumlah besar dan berniat memperkarakan Ajip. Padahal Ajip telah banyak mengorbankan hartanya untuk riset penulisan ini tanpa bantuan dari sponsor.
Ajip langsung naik darah. Ditemuinya Pak Natsir. Ternyata Pak Natsir mendengarkan informasi secara sepihak dan tak mau mendengar penjelasan Ajip. Akhirnya Ajip baru tahu mengapa dulu Kang Engkin (KH EZ Muttaqin) berseteru dengan Pak Natsir dan mengapa Masyumi kalah.
Menurut Ajip dengan menulis biografi Natsir dia kehilangan dua hal. Pertama, kehilangan tokoh yang dikaguminya. Kedua, kehilangan saudara. Menurut Ajip, dalam hal ini Pak Natsir gagal mendidik anak yang terlalu berorientasi uang.
Penutup
Berkat kemampuannya, Ajip selama hidupnya tidak pernah melamar kerja. Semua pekerjaan datang begitu saja karena orang percaya dengan reputasinya. Bahkan, tokoh buku saat itu, Haji Masagung dan PK Ojong (pendiri Kompas) pernah menawarkan jabatan kepada Ajip.
Tapi, saat itu Ajip sudah bertekad bulat untuk menjadi dosen di Jepang. Bayangkan dengan kita-kita yang mencari kerja susahnya setengah mati. Ah Ajip. Dikau memang spesial.
Kini Ajip tinggal di rumahnya di Pabelan, 9 km dari Borobudur. Rumah ini dibangunnya saat berada di Jepang. Tanahnya sangat luas, dengan radius halaman sebesar 1 hektar. Ini semua berkat hasil kerja di Jepang. Ehm….
Pokoknya buku ini sangat mencerahkan deh….Bagi anak muda yang masih sekolah atau bagi orang tua yang ingin lebih memahami arti kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H