Mohon tunggu...
Heryanto England
Heryanto England Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Bahasa Inggris dan Penulis Social Culture

Writing and reading are my drugs.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cintaku Amin

11 Maret 2017   16:35 Diperbarui: 11 Maret 2017   16:53 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rhena, apa kabar?

SMS itu kubaca dan kucoba pahami karena ku tahu itu bukan sekedar sapaan. Ada rasa rindu di hatiku pada pengirim teks tersebut. Sudah lebih dari 1 minggu aku tidak berjumpa dengannya.

“Dari siapa, Rhen?” Pertanyaan ibuku membuatku terhenyak dari kekalutanku untuk menjawab SMS itu.

“Dari teman, Bu.” Aku menjawab sekenanya.

Mataku masih terpaku pada aktor favoritku,Shah Rukh Khan, yang sedang memainkan perannya di televisi. 

“Temanmu mirip aktor idolamu?” suara ibuku yang duduk di belakang membuatku tersipu.

“Ah Ibu, kenapa sih?” Wajahku merah merona.

“Siapa namanya?” Ibuku mendekatiku.

Amin, Bu. Emangnya kenapa, Bu?” Aku jadi membayangkan wajah pria sendu ini.

“Kamu mencintai Amin?” Ibuku menggodaku.

“Ah, apaan sih, Bu?” Aku beranjak dari ruang keluarga menuju dapur. Kubuka lemari es, aku mengambil minum air dingin. Dingin, untuk mendinginkan kepalaku.

***

Pertama kali aku melihat Amin saat aku kembali kerja di kantor lamaku setelah bertahun-tahun vakum. Aku melihatnya sedang mengepel lantai di ruang kerjaku di lantai 2.

“Permisi, mbak,” katanya saat mulai mengepel lantai di daerah mejaku.

“Oh, silakan.” Aku menatap matanya lekat. Ada ketenangan pada wajahnya. Aku suka.

Tiga puluh menit Amin berada di ruanganku. Aku tertarik dengan setiap gerakan yang dia buat.  Hatiku terasa bergejolak.

“Namaku Rhena. Kamu?” Astaga, aku terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku memperkenalkan diriku tanpa dia bertanya namaku terlebih dahulu.

“Amin, mbak Rhena.” Amin mengulurkan tangan kanannya padaku. Dengan malu-malu aku menjabat tangannya.

“Panggil saja aku Rhena, tidak usah pakai mbak.” Aku tersenyum padanya. Amin pun membalas senyumanku dengan senyumannya yang indah.

***

“Kamu semangat sekali jika pergi ke kantor. Ada apa?” Pertanyaan ayahku membuat hatiku kian bergetar.

“Karena aku akan bertemu Amin, ayah.” Jawabku dalam hati. Aku malu untuk mengatakannya langsung padanya.

“Ayah harap kamu bisa menemukan jodohmu segera. Ayah ingin kamu menikah, Rhena.” Ayahku membantuku mengeluarkan motor matikku keluar rumah.

Jodoh? Jodohku? Entahlah pikiranku menerawang pada sosok Amin saat aku mendengar kata itu. Jodohku adalah Amin? Hmmm…

“Ayah mau kamu bisa menikah tahun ini. Sudahkah kamu mempunyai kekasih?”

Aku memandang wajah ayahku sejenak sebelum aku menggaskan motorku ini.

“Doakan saja, ayah,” jawabku lirih. Kustarter motorku melaju ke tempat kerjaku.

Ah, Amin. Tak sabar ku bertemu denganmu.

***

Har-hariku makin berwarna. Aku melakukan pekerjaan sebagai admin dengan riang. Riang karena  selalu bertemu Amin di ruanganku.

Tidak banyak kata-kata yang tercipta saat aku bersama Amin di kantor. Melihatnya menyapu, mengepel, mengelap, dan sebagainya membuatku bahagia. Aku bisa terus melihatnya.

Kesederhanaan lelaki seorang Amin membuatku tertarik padanya. Jatuh cintakah aku padanya? Mungkin iya. Pasti iya.

“Kamu sudah punya pacar, Min?” Aku bertanya padanya untuk maksud tertentu. Aku ingin lebih dekat dengannya. Aku ingin jadi kekasihnya. Seorang kekasih yang akan meminangku.

“Belum. Kenapa tanya seperti itu,” katanya dengan polos.

“Enggak apa-apa sih. Setidaknya pasti kamu sedang mencintai seorang wanita saat ini,” ujarku menggodanya.

“Ya, aku sedang mencintai seorang wanita,”

“Ohhh, siapa, Min?” Aku begitu antusias ingin mengetahuinya.

“Seorang wanita yang kutanyai apa kabarnya itulah wanita yang kucintai.” Amin berdiplosimasi.

Ah, aku belum pernah ditanya kabarku darinya. Aku mencintai Amin, tapi Amin tidak…

***

Rhena, apa kabar?

Aku tertegun membaca SMS ini. Jadi selama ini aku adalah wanita tersebut. Wanita yang dicintai Amin.

Aku masuk kembali dari dapur menuju ruang keluarga.

“Kamu menangis, Rhena?” Ibuku bertanya.

Aku tersadar mataku berkaca-kaca. Mengalirkan butiran air mata yang jatuh ke pipiku.

“Amin, Bu,” Aku memeluk ibuku.

“Ada apa dengan Amin?”

“Aku mencintai Amin, Bu. Aku ingin jadi kekasihnya. Aku ingin menjadi istrinya,” isakku makin besar.

Amin, telatku diriku. Dia pamit meninggalkan kantor karena ibunya di kampung sedang sakit. Ibunya membutuhkan dia.

“Ibu percaya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” bijaknya kata-kata ibuku membuatku memeluknya lebih erat.

Semoga aku belum telat. Semoga dia bisa kembali lagi.

Kugenggam smartphoneku erat. Aku melepaskan pelukan ibuku. Aku ingin mengetikkan kata-kata untuk membalas SMS Amin.

Isi SMS balasanku pada Amin: Aku cinta kamu, Amin.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun