***
Pertama kali aku melihat Amin saat aku kembali kerja di kantor lamaku setelah bertahun-tahun vakum. Aku melihatnya sedang mengepel lantai di ruang kerjaku di lantai 2.
“Permisi, mbak,” katanya saat mulai mengepel lantai di daerah mejaku.
“Oh, silakan.” Aku menatap matanya lekat. Ada ketenangan pada wajahnya. Aku suka.
Tiga puluh menit Amin berada di ruanganku. Aku tertarik dengan setiap gerakan yang dia buat. Hatiku terasa bergejolak.
“Namaku Rhena. Kamu?” Astaga, aku terkejut dengan apa yang kukatakan. Aku memperkenalkan diriku tanpa dia bertanya namaku terlebih dahulu.
“Amin, mbak Rhena.” Amin mengulurkan tangan kanannya padaku. Dengan malu-malu aku menjabat tangannya.
“Panggil saja aku Rhena, tidak usah pakai mbak.” Aku tersenyum padanya. Amin pun membalas senyumanku dengan senyumannya yang indah.
***
“Kamu semangat sekali jika pergi ke kantor. Ada apa?” Pertanyaan ayahku membuat hatiku kian bergetar.
“Karena aku akan bertemu Amin, ayah.” Jawabku dalam hati. Aku malu untuk mengatakannya langsung padanya.