Mohon tunggu...
Heru Wahyudi
Heru Wahyudi Mohon Tunggu... Dosen - Lecture

Musafir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Dampak Draf RUU DKJ terhadap Jakarta dan Politik Nasional

7 Desember 2023   15:20 Diperbarui: 9 Desember 2023   08:00 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Mural tentang Jakarta tergambar di kawasan Kemang, Jakarta, Jumat (21/1/2022). (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) telah menarik perhatian publik, karena isinya memiliki dampak terhadap politik nasional dan posisi Gubernur serta Wakil Gubernur Jakarta. 

Dokumen tersebut menjelaskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ akan ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden, dengan pertimbangan dari usulan atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Melansir sumber voi.id (6/12/2023), poin-poin dalam Draf RUU DKJ membahas peran Presiden dalam penentuan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, yang sebelumnya dipilih melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada/Pilgub).

Draf RUU DKJ menjadi  viral sejak rapat Paripurna DPR RI pada (5/11/2023), ketika RUU tersebut dinyatakan sebagai inisiatif DPR. Beberapa fraksi, seperti PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP, memberikan persetujuan dengan catatan khusus terkait RUU tersebut. 

Fraksi PKS menolak RUU tersebut, fraksi PKS mengkritik bahwa penyusunan RUU DKJ tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Perspektif Pendukung dan Penentang Draf RUU DKJ

Pihak yang memberi dukungan kepada Draf RUU DKJ menjelaskan bahwa rancangan undang-undang tersebut berharap dapat memperkuat peran Presiden dalam mengatur posisi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, yang sebelumnya dipilih melalui Pilkada/Pilgub.

Dalam pandangan fraksi utama, hal ini sebagai kebijakan yang strategis, seperti dilansir dari prohaba.tribunnews.com (6/12/2023). Selain itu, draf RUU DKJ ini diyakini dapat mempercepat proses pembangunan di Jakarta.

Di sisi lain, pihak yang menentang draf RUU DKJ, terutama Fraksi PKS, menolak dengan alasan tertentu. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa penyusunan draf RUU DKJ dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Fraksi PKS mengungkapkan pandangan bahwa Jakarta masih memiliki kelayakan untuk tetap menjadi ibu kota negara.

Titik poinnya mempersoalkan kekhawatiran proses penyusunan undang-undang yang dianggap kurang demokratis dan kurangnya melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait status Jakarta sebagai ibu kota.

Dampak Sosial Draf RUU DKJ

Draf RUU DKJ yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat mengundang polemik karena mengusulkan peralihan dari sistem pemilihan umum langsung menjadi penunjukan oleh Presiden untuk gubernur dan wakil gubernur Jakarta.

Gagasan tersebut membuat perdebatan mengenai prinsip-prinsip demokrasi, efisiensi dalam tata kelola pemerintahan, dan seimbangnya kekuasaan antara kepentingan nasional dan lokal. Pasal 10 ayat (2) RUU DKJ menyatakan bahwa gubernur dan wakil gubernur dapat diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan mempertimbangkan usulan atau pendapat DPRD.

Dampak sosial Draf RUU DKJ terhadap masyarakat Jakarta mencakup aspek pemukiman, lapangan kerja, dan akses terhadap layanan publik. 

Meskipun Draf RUU DKJ mengusulkan Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional dan kota global, sistem penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh Presiden menimbulkan keresahan merosotnya partisipasi publik dan pelemahan praktik demokrasi, sebagaimana dilaporkan oleh nasional.kompas.com (7/12/2023).

Pertanggungjawaban langsung gubernur kepada warga Jakarta memegang peran dalam mendorong partisipasi publik dan menjamin tata kelola pemerintahan yang transparan. Draf RUU DKJ juga disorot karena dianggap kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara substansial.

Meskipun Draf RUU DKJ mengajukan Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional dan kota global, dampak sosialnya tetap jadi subjek polemik. Walau banyak kritik, ada juga manfaatnya dari model penunjukan oleh Presiden.

Sistem tersebut menciptakan stabilitas dan efisiensi dalam tata kelola pemerintahan Jakarta. Meskipun, jadi catatan bahwa Jakarta memiliki lanskap sosial-politik yang khas dan sejarah kemajuan demokrasinya yang mesti dipertimbangkan ketika merancang perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan.

Dampak Politis Draf RUU DKJ

Draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) mengusulkan perubahan terhadap model demokrasi yang sudah ada. 

Menurut rancangan tersebut, penunjukan dan pemberhentian gubernur serta wakil gubernur Jakarta akan bergantung pada kebijakan Presiden, sejalan dengan usulan atau pandangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kebijakan tersebut memicu polemik prinsip demokrasi, efisiensi tata kelola pemerintahan, dan keseimbangan kekuasaan antara kepentingan nasional dan daerah. 

Pasal 10 ayat (2) RUU DKJ menyebutkan bahwa Presiden akan menetapkan atau memberhentikan gubernur dan wakil gubernur dengan mempertimbangkan usulan atau pandangan DPRD.

Dampak politis Draf RUU DKJ terhadap struktur pemerintahan dan otonomi daerah, beserta akibatnya pada peta kekuatan politik di tingkat nasional, menjadi fokus perhatian. 

Sistem penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden berpotensi mengurangi partisipasi publik dan melemahkan fondasi demokrasi.

Pertanggungjawaban langsung gubernur kepada warga Jakarta menjadi tonggak dalam mengangkat partisipasi masyarakat dan menjamin pemerintahan yang transparan. Kritik juga diarahkan pada kurangnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Draf RUU DKJ.

Polemik Draf RUU DKJ, Dampak Sosial dan Politis serta Perlunya Evaluasi

Draf RUU DKJ telah menjadi polemik, memicu dukungan dan penentangan dari berbagai pihak, terutama dalam ranah sosial dan politis.

Dari sisi sosial, Draf RUU DKJ memberikan dampak yang besar pada pemukiman, lapangan pekerjaan, dan akses terhadap layanan publik. 

Walaupun usulan untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global tampak menjanjikan, sistem penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden menimbulkan keresahan akan merosotnya partisipasi publik dan melemahnya praktik demokrasi.

Akuntabilitas langsung gubernur kepada warga Jakarta punya peran strategis dalam partisipasi masyarakat dan menjamin pemerintahan yang transparan. Ironisnya, Draf RUU DKJ dinilai kurang melibatkan partisipasi masyarakat.

Dari perspektif politis, Draf RUU DKJ mengusulkan perubahan dalam dinamika demokrasi yang sudah ada. Sistem penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden dapat mengurangi peran aktif masyarakat dan merusak makna demokrasi. Selain itu, kekhawatiran muncul terkait dampak Draf RUU tersebut terhadap tata kelola pemerintahan dan otonomi daerah.

Implikasi Draf RUU DKJ jadi polemik dan memerlukan evaluasi. Perlu ada keseimbangan antara efisiensi administratif, prinsip demokrasi, dan kepentingan masyarakat. 

Oleh karena itu, pembahasan Draf RUU DKJ harus melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, ahli, dan pemangku kepentingan lainnya, guna memastikan bahwa keputusan yang diambil akan memberikan manfaat bagi warga Jakarta dan Indonesia pada umumnya. (*)

Heru Wahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun