Kebijakan tersebut memicu polemik prinsip demokrasi, efisiensi tata kelola pemerintahan, dan keseimbangan kekuasaan antara kepentingan nasional dan daerah.Â
Pasal 10 ayat (2) RUU DKJ menyebutkan bahwa Presiden akan menetapkan atau memberhentikan gubernur dan wakil gubernur dengan mempertimbangkan usulan atau pandangan DPRD.
Dampak politis Draf RUU DKJ terhadap struktur pemerintahan dan otonomi daerah, beserta akibatnya pada peta kekuatan politik di tingkat nasional, menjadi fokus perhatian.Â
Sistem penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden berpotensi mengurangi partisipasi publik dan melemahkan fondasi demokrasi.
Pertanggungjawaban langsung gubernur kepada warga Jakarta menjadi tonggak dalam mengangkat partisipasi masyarakat dan menjamin pemerintahan yang transparan. Kritik juga diarahkan pada kurangnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Draf RUU DKJ.
Polemik Draf RUU DKJ, Dampak Sosial dan Politis serta Perlunya Evaluasi
Draf RUU DKJ telah menjadi polemik, memicu dukungan dan penentangan dari berbagai pihak, terutama dalam ranah sosial dan politis.
Dari sisi sosial, Draf RUU DKJ memberikan dampak yang besar pada pemukiman, lapangan pekerjaan, dan akses terhadap layanan publik.Â
Walaupun usulan untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global tampak menjanjikan, sistem penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden menimbulkan keresahan akan merosotnya partisipasi publik dan melemahnya praktik demokrasi.
Akuntabilitas langsung gubernur kepada warga Jakarta punya peran strategis dalam partisipasi masyarakat dan menjamin pemerintahan yang transparan. Ironisnya, Draf RUU DKJ dinilai kurang melibatkan partisipasi masyarakat.
Dari perspektif politis, Draf RUU DKJ mengusulkan perubahan dalam dinamika demokrasi yang sudah ada. Sistem penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden dapat mengurangi peran aktif masyarakat dan merusak makna demokrasi. Selain itu, kekhawatiran muncul terkait dampak Draf RUU tersebut terhadap tata kelola pemerintahan dan otonomi daerah.