Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Bu Guru dan Belantara Pulau Buru

12 Januari 2025   21:10 Diperbarui: 13 Januari 2025   06:52 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen "Pulau Buru Keracunan"/Foto: Hermard

Seandainya saja Pramoedya Ananta Toer tidak berulang kali bercerita mengenai Pulau Buru berkaitan dengan pengalaman pribadinya sebagai tahanan politik  Orde Baru, tanpa proses pengadilan, mungkin tidak pernah ada narasi menarik mengenai Pulau Buru.

Bisa saja Pulau Buru menjadi kenangan pahit karena ribuan tahanan- bersama Pramoedya- yang diduga terkait  kegiatan partai terlarang, mengalami penindasan, kerja paksa, dan kehilangan kebebasan.

Cerita Pulau Buru/Foto: Hermard
Cerita Pulau Buru/Foto: Hermard
Meskipun begitu, sejarah membuktikan bahwa Pulau Buru menjadi sesuatu yang sangat penting bagi Pramoedya. Hal itu terjadi karena di sanalah ia menemukan suara perjuangan untuk mengangkat isu-isu mengenai penindasan, kebebasan, dan kemanusiaan.

Pertanyaan kekinian yang mengedepan  adalah: sepeninggal Pramoedya adakah pengarang yang   terus setia menyuarakan kegelisahan-kegelisahan tentang Pulau Buru? Apakah kabar mengenai Pulau Buru saat ini baik-baik saja?

Meramu Pulau Buru/Foto: Hermard
Meramu Pulau Buru/Foto: Hermard
Awal tahun  2025, saya menerima kiriman buku kumpulan cerpen Suryakanta Pulau Buru (Pelita Aksara Gemilang, 2023)  karya Ha Mays (nama samaran), seorang guru di Makao, Pulau Buru.  

Jujur, saya  sebenarnya lebih suka menyebut dan menuliskan nama asli pengarangnya, Maysaroh Halima, salah seorang Kompasianer. Bukankah nama ini terkesan lebih nges dan  dapat dimaknai sebagai harapan yang baik? 

Terlebih, bagi saya, penggunaan nama asli bisa membangun reputasi pribadi, mencerminkan kebersediaan bertanggung jawab secara langsung terhadap karya-karya yang dihasilkan dan terasa lebih personal.

Jadi, dalam tulisan ini, saya akan mengganti nama Ha Mays dengan Halima Maysaroh. Maaf kalau ibu guru bahasa Inggris kelahiran Namlea, Buru, 5 November 1988, kurang berkenan dengan apa yang saya lakukan.

Buku Suryakanta Pulau Buru memuat dua belas cerita pendek, didedikasikan agar pembaca tidak hanya mengingat Pulau Buru sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde Baru, tetapi lebih dari itu menampakan bukti sejarah (zaman Belanda), memperlihatkan hasil bumi yang mendunia, kekhasan adat budaya, dan keindahan alam tidak ada duanya.

Peninggalan Belanda sebagai situs menarik di Pulau Buru, terwakili cerpen "Semalam di Fort Defensie". Benteng Kayeli (Fort Defensie), dibangun pada tahun 1785, dijadikan latar cerita yang bergerak di antara tarik ulur  dunia nyata dan misteri (tak nyata).

Kebiasaan penumpang melakukan perjalanan Ambon-Pulau Buru menggunakan kapal feri, selama delapan jam, disambung angkutan umum (angkot) ke Namlea selama satu jam, tersirat melalui cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru". 

Sedangkan keindahan pantai Jikumarasa yang juga dihuni keturunan Tionghoa, tergambar dalam cerpen "Kutunggu di Muara Jikumarasa". Pantai ini dilukiskan memiliki jajaran pohon bakau dan  binatang laut di sepanjang tepi pantai.

Sastrawan besar  Umar Kayam pernah mengatakan bahwa pengarang sastra yang baik adalah seorang pengamat lingkungan, bersedia melakukan riset, maka hal inilah yang dilakukan Halima Maysaroh dalam menjalani proses kreatifnya. 

Ia rajin mencatat apa pun  mengenai Pulau Buru, kemudian dipadukan dengan imajinasi subjektif untuk menciptakan cerita pendek dengan nuansa warna lokal Pulau Buru (menyangkut bahasa, tradisi, budaya).

Kerja pengamatan terhadap lingkungan, menghasilkan detail latar tempat, masalah sosial budaya, dan tradisi, menjadi salah satu keberhasilan Halima Maysaroh dalam menciptakan karya sastra.

Perlu diingat bahwa tidak ada karya sastra yang berangkat dari kekosongan. Meskipun karya sastra bersifat fiktif, tetapi ia tetap berangkat dari kenyataan.   

Anggapan tersebut menemukan jalan dalam pandangan semiotik dengan gagasan mengenai hubungan antara tanda dengan acuannya. Hal ini terjadi karena teks mempunyai hubungan  dengan apa yang direpresentasikan (dunia yang diciptakan).

Dari dunia yang diciptakan oleh teks sastra, terjadi tiga relasi: relasi dengan dunia nyata (kenyataan historis), relasi dengan dunia pengarang, dan relasi dengan dunia pembaca.

Pembaca dihadapkan pada berbagai pertanyaan mendasar menyangkut kebenaran historis, psikologis, jujur tidaknya pengarang; serta apakah pembaca sebagai audience dapat memahami apa yang telah diciptakan pengarang.

Relasi indeksikal dengan dunia pengarang memberi tanda ciri komunikasi; relasi indeksikal dengan kebenaran historis memberi teks sastra nilai sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan tentang kenyataan dan untuk mendalami kenyataan tersebut; serta eksistensial paling istimewa dari sebuah teks  sastra terletak pada relasi indeksikalnya dengan pembaca.

Relasi inilah yang memberi kepada pembaca --yang pada akhirnya merupakan sasaran-- keyakinan bahwa teks sastra dapat memberi wawasan (tentang hidup).

Secara indeksikal, kumpulan cerpen Suryakanta Pulau Buru merupakan gambaran transformasi budaya dari masyarakat agraris menuju masyarakat modern. 

Umar Kayam (1989) menyatakan bahwa transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap-tahap, akan tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat bahkan abrupt. 

Proses perubahan dari masyarakat agraris menuju modernisasi masyarakat Pulau Buru dimulai dari bergesernya mata pencarian masyarakat yang semula bertani ke aktivitas penambangan emas. 

Kedatangan orang Jawa sebagai transmigran pada tahun 1979 ke wilayah Unit, mampu memperkuat tradisi bertani dan berternak masyarakat Pulau Buru. Namun, tradisi bertani mulai bergeser saat ditemukannya emas  di gunung Botak, desa Dava, Waelata, Kabupaten Buru, pada tahun 2011.

Dampak pergeseran dari masyarakat agraris (tradisi) ke tambang emas dengan peralatan modern (meninggalkan peralatan wajan, nyiru, dan alat tapis lainnya), menimbulkan lompatan atau kejutan mental bagi sebagian masyarakat (termasuk pengarang Suryakanta Pulau Buru). 

Transisi sosial menyebabkan adanya pergerakan penduduk, perubahan gaya hidup dan pranata sosial. 

Keserasian dan keharmonisan  hidup dalam masyarakat tradisional yang semula agraris digoncangkan sendi-sendinya oleh perkembangan mekanisasi (modernisasi). 

Beberapa puluh tahun silam, Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengingatkan bahwa sejak tahun 1980-an, ciri teknologi  tidak semata-mata produktif dan konstruktif, melainkan juga destruktif, baik materiil maupun spiritual. 

Teknologi yang dikembangkan guna mengatasi sejumlah masalah agar  kehidupan manusia  menemukan cara baru yang lebih serasi dan mantap, akhirnya membuktikan bahwa teknologi pun mampu menggoncangkan tata hidup  beserta nilai- nilainya yang semula diunggulkan.

"Kemalingan? Sejak kapan kampung kita enggak aman begini?" Aku keheranan.

"Sejak ada tambang emas, banyak pendatang. Enggak semua berhasil meraup emas, ada yang terpaksa menipu, mencuri, merampok demi memenuhi nafsu duniawi. Mereka enggak mungkin mau pulang ke kampung halaman dengan tangan kosong," papar bapakku. ("Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru").

Kutipan di atas menandakan bahwa masyarakat tradisional agraris yang semula hidup harmonis dalam kekeluargaan (komunal), berubah menjadi masyarakat individualis.

Situasi ini benar-benar disadari dan dipahami Halima Maysaroh sebagai pengarang, sehingga ia mengontraskan situasi Puau Buru lewat cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru" dan "Pulau Buru Keracunan".

Dalam cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru"  dikisahkan bagaimana kemilau emas  bukan hanya membawa kemakmuran, tetapi sekaligus kehancuran. 

Tidak sedikit rumah tangga menjadi rusak, istri dibawa kabur orang tambang. Istri berselingkuh dengan pria pendatang bukan lagi menjadi persoalan besar yang memalukan harkat dan martabat keluarga. 

Wanita-wanita cantik  sengaja datang dari luar Pulau Buru  menjajakan diri. Tempat mangkalnya pun di mana-mana. Pria-pria tambang kesepian menjadi target mereka.  

Dulu  hal semacam ini tidak mungkin terjadi. Tetapi setelah ada tambang emas, situasi berubah seratus delapan puluh derajat.

Cerpen  "Pulau Buru Keracunan" tak jauh berbeda, mengontraskan masa lalu yang damai, tanah subur, suasana  nyaman, dengan perkembangan Pulau Buru setelah adanya penambangan emas: pohon-pohon sagu mengering, sungai dipenuhi genangan lumpur cairan merkuri dan sianida, kota kian penuh sesak, muncul banyak penginapan, sering terjadi perampokan, petani kesulitan mendapatkan air, judi merebak di mana-mana.

Meskipun  cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas Pulau Buru"  memiliki tema kasih tak sampai (kegagalan Satriyo memperistri Savana) dan cerpen "Pulau Buru Keracunan" menceritakan kegagalan Syahid melakukan demo demi perbaikan Pulau Buru, secara indeksikal kedua cerpen tersebut membuktikan bahwa karya sastra tidak sekadar fiksi.

Karya sastra dapat menjadi "referensi" pembaca dalam  memperoleh pengetahuan tentang kenyataan dan  mendalami kenyataan mengenai perkembangan yang terjadi di Pulau Buru. 

Bukankah eksistensi paling istimewa dari sebuah teks  sastra terletak pada relasi indeksikalnya dengan pembaca karena dapat memberi wawasan tentang hidup dan kehidupan?

Bu Guru kreatif/Foto: dokumentasi Halima Maysaroh
Bu Guru kreatif/Foto: dokumentasi Halima Maysaroh
Cerpen lain yang dapat memberikan wawasan pembaca terhadap tradisi memetik teh, menikmati lezatnya embal- ampas singkong parut yang dikeringkan dengan dipanggang, disajikan dalam cerpen "Dilema si Pemetik Cengkih".

Selain itu, cerpen "Bumi Kayu Putih" membuka wawasan pembaca mengenai tradisi menyuling kayu putih di pegunungan saat musim kemarau.

Dalam teknik penulisan, beberapa cerpen memiliki keistimewaan, ditulis dengan alur flashback, memiliki surprise ending. Akan lebih baik lagi jika  dalam penciptaan cerpen menggunakan  kalimat  efektif, mempertimbangkan  pilihan kata (diksi) yang tepat, dan menggunakan ungkapan yang lebih berterima. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun