Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Bu Guru dan Belantara Pulau Buru

12 Januari 2025   21:10 Diperbarui: 12 Januari 2025   21:10 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen "Pulau Buru Keracunan"/Foto: Hermard

Proses perubahan dari masyarakat agraris menuju modernisasi masyarakat Pulau Buru dimulai dari bergesernya mata pencarian masyarakat yang semula bertani ke aktivitas penambangan emas. 

Kedatangan orang Jawa sebagai transmigran pada tahun 1979 ke wilayah Unit, mampu memperkuat tradisi bertani dan berternak masyarakat Pulau Buru. Namun, tradisi bertani mulai bergeser saat ditemukannya emas  di gunung Botak, desa Dava, Waelata, Kabupaten Buru, pada tahun 2011.

Dampak pergeseran dari masyarakat agraris (tradisi) ke tambang emas dengan peralatan modern (meninggalkan peralatan wajan, nyiru, dan alat tapis lainnya), menimbulkan lompatan atau kejutan mental bagi sebagian masyarakat (termasuk pengarang Suryakanta Pulau Buru). 

Transisi sosial menyebabkan adanya pergerakan penduduk, perubahan gaya hidup dan pranata sosial. 

Keserasian dan keharmonisan  hidup dalam masyarakat tradisional yang semula agraris digoncangkan sendi-sendinya oleh perkembangan mekanisasi (modernisasi). 

Beberapa puluh tahun silam, Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengingatkan bahwa sejak tahun 1980-an, ciri teknologi  tidak semata-mata produktif dan konstruktif, melainkan juga destruktif, baik materiil maupun spiritual. 

Teknologi yang dikembangkan guna mengatasi sejumlah masalah agar  kehidupan manusia  menemukan cara baru yang lebih serasi dan mantap, akhirnya membuktikan bahwa teknologi pun mampu menggoncangkan tata hidup  beserta nilai- nilainya yang semula diunggulkan.

"Kemalingan? Sejak kapan kampung kita enggak aman begini?" Aku keheranan.

"Sejak ada tambang emas, banyak pendatang. Enggak semua berhasil meraup emas, ada yang terpaksa menipu, mencuri, merampok demi memenuhi nafsu duniawi. Mereka enggak mungkin mau pulang ke kampung halaman dengan tangan kosong," papar bapakku. ("Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru").

Kutipan di atas menandakan bahwa masyarakat tradisional agraris yang semula hidup harmonis dalam kekeluargaan (komunal), berubah menjadi masyarakat individualis.

Situasi ini benar-benar disadari dan dipahami Halima Maysaroh sebagai pengarang, sehingga ia mengontraskan situasi Puau Buru lewat cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru" dan "Pulau Buru Keracunan".

Dalam cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru"  dikisahkan bagaimana kemilau emas  bukan hanya membawa kemakmuran, tetapi sekaligus kehancuran. 

Tidak sedikit rumah tangga menjadi rusak, istri dibawa kabur orang tambang. Istri berselingkuh dengan pria pendatang bukan lagi menjadi persoalan besar yang memalukan harkat dan martabat keluarga. 

Wanita-wanita cantik  sengaja datang dari luar Pulau Buru  menjajakan diri. Tempat mangkalnya pun di mana-mana. Pria-pria tambang kesepian menjadi target mereka.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun