Dulu  hal semacam ini tidak mungkin terjadi. Tetapi setelah ada tambang emas, situasi berubah seratus delapan puluh derajat.
Cerpen  "Pulau Buru Keracunan" tak jauh berbeda, mengontraskan masa lalu yang damai, tanah subur, suasana  nyaman, dengan perkembangan Pulau Buru setelah berkembangnya penambangan emas: pohon-pohon sagu mengering, sungai dipenuhi genangan lumpur cairan merkuri dan sianida, kota kian penuh sesak, muncul banyak penginapan, sering terjadi perampokan, petani kesulitan mendapatkan air, judi merebak di mana-mana.
Meskipun  cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas Pulau Buru"  memiliki tema kasih tak sampai (kegagalan Satriyo memperistri Savana) dan cerpen "Pulau Buru Keracunan" menceritakan kegagalan Syahid melakukan demo demi perbaikan Pulau Buru, secara indeksikal kedua cerpen tersebut membuktikan bahwa karya sastra tidak sekadar fiksi.
Karya sastra dapat menjadi "referensi" pembaca dalam  memperoleh pengetahuan tentang kenyataan dan  mendalami kenyataan mengenai perkembangan yang terjadi di Pulau Buru.Â
Bukankah eksistensi paling istimewa dari sebuah teks  sastra terletak pada relasi indeksikalnya dengan pembaca karena dapat memberi wawasan tentang hidup dan kehidupan?
Cerpen lain yang dapat memberikan wawasan pembaca terhadap tradisi memetik teh, menikmati lezatnya embal- ampas singkong parut yang dikeringkan dengan dipanggang, disajikan dalam cerpen "Dilema si Pemetik Cengkih".
Selain itu, cerpen "Bumi Kayu Putih" membuka wawasan pembaca mengenai tradisi menyuling kayu putih di pegunungan saat musim kemarau.
Dalam teknik penulisan, beberapa cerpen memiliki keistimewaan, ditulis dengan alur flashback, memiliki surprise ending. Akan lebih baik lagi jika  dalam penciptaan cerpen menggunakan kalimat  efektif, mempertimbangkan pilihan kata (diksi) yang tepat, dan menggunakan ungkapan yang lebih berterima. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H