Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cerita-cerita Seputar Jalan Pagi

30 Agustus 2024   09:11 Diperbarui: 30 Agustus 2024   13:57 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di penghujung tahun 2021, saya dan keluarga pindah rumah ke wilayah Randugowang, mendekati perkotaan. Kebiasaan jalan pagi tetap dilakukan setelah subuhan.

Hanya saja pemandangannya tidak lagi hamparan sawah menghijau, bulak, tetapi lebih banyak rumah penduduk, perumahan mewah, homestay, hotel, kafe, rumah makan, warung kelontong, sekolah, kios laundry, dan tempat hiburan malam.

Melintasi perumahan elite/Foto: Hermard
Melintasi perumahan elite/Foto: Hermard

Meskipun begitu masih ada beberapa petak sawah dan kebonan kosong dengan pepohonan besar di beberapa tempat. Sawah di sini mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang karena tidak ada selokan irigasi seperti sawah-sawah di desa Jamblangan, Jingin, maupun Babrik.

Melintasi Jalan Randugowang Utama, Jalan Shinta, Jalan Sherdia, Jalan Pandawa, Jalan Sadewa, dan Jalan Rama, setiap berpapasan dengan sesama penghobi jalan pagi, tegur sapa berlangsung singkat: selamat pagi, mangga (mari), menganggukan kepala, atau cukup tersenyum. 

Beberapa lama kemudian, setelah sering bertemu barulah mengenal Mbak Ratna, Pak Kawit, Pak Mudji, Pak Marno (pensiunan Dinas Pendidikan Sleman), Pak Surya (pemilik toko sepeda), Pak Hartono (pensiunan guru), dan Pak Sugiarto (bekerja di BUMN). 

Dua nama terdepan mudah diingat karena mereka memiliki kebiasaan unik. Mbak Ratna selalu tampil fashionable dan mengenakan tas pinggang berisi makanan kucing. Ia sesekali berhenti memberi makan kucing yang menunggunya dengan setia di beberapa tempat. 

Sedangkan Pak Kawit setiap pagi berkeliling naik sepeda jengki. Dari kejauhan, kehadirannya sudah bisa ditebak karena di bagian stang dipasangi lampu biru berkedip, sedangkan di slebor belakang dihiasi lampu berwarna kuning. Ditambah tiang antena cukup tinggi. Ia berkeliling sambil "ngebrik" dan terkadang membawa teropong.

"Ngebrik untuk bertukar informasi keamanan dan koordinasi kegiatan. Sedangkan teropong digunakan menikmati gunung merapi dari kejauhan. Siapa tau terjadi erupsi," jelas Pak Kawit saat berhenti di depan perumahan.

Sosok paling ramah adalah Pak Mudji. Lelaki renta itu setia mengurusi tiga petak sawahnya yang terpencar di selatan kampung Karang Mloko. Pergi ke sawah selalu naik sepeda onthel butut dengan sebilah arit terselip di boncengan. 

Pada perkenalan pertama, saya dan Ibu Negara Omah Ampiran sengaja dicegat dan ditanyai nama, tinggal di sebelah mana, pekerjaannya apa. Pada pertemuan berikutnya, di petak sawah di barat kluster Vimala, ia kian membuka diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun