Jalan pagi sudah merupakan kebiasaan yang saya lakukan bersama Ibu Negara Omah Ampiran. Bahkan sejak kami hidup di desa Jamblangan, Sleman, dua puluh tahun silam. Jujur saja kami tidak pernah menghitung apakah mencapai tiga ribu langkah atau bahkan sampai 10 ribu langkah. Bagi kami yang sudah tidak muda lagi, jalan pagi merupakan refreshing memasuki hari baru. Setidaknya jalan pagi mampu melancarkan peredaran darah, membantu membakar kalori, menguatkan langkah kaki, di samping merupakan momen melakukan interaksi sosial.
Tegur Sapa Masyarakat Desa
Tinggal di kompleks perumahan dan lokasinya berada di tengah pedesaan, merupakan tantangan tersendiri dalam melakukan interaksi sosial dengan masyarakat setempat.
Terlebih karena penghuni perumahan didominasi "masyarakat kota" yang mampunya mencicil perumahan tipe 36 lewat kredit perumahan rakyat (KPR) selama 10-15 tahun. Jadi maklum saja kalau lokasinya berada tiga belas kilometer dari pusat kota Yogyakarta.Â
Kedatangan "masyarakat kota", menghuni lebih dari seratus rumah, saya sadari akan membawa masalah bagi kedua belah pihak karena adanya perbedaan gaya hidup, pendidikan, dan kebiasaan atau tradisi.
Cara sederhana yang saya lakukan bersama Ibu Negara untuk melunturkan kesenjangan itu dengan ikut menyempatkan waktu melayat ketika ada tetangga desa meninggal dunia, mengambil peran dalam acara perayaan (gotong royong), dan sapa aruh saat jalan pagi. Keramahan khas masyarakat desa setidaknya terasakan saat berpapasan di pagi hari.
"Mangga Pak, Bu, kok kala wingi mboten mlampah? Rak sami sehat to?-Mari Pak, Bu, kemarin kok tidak jalan pagi? Sehat semua to?" tanya Pak Yanto, tetangga desa, menempati rumah di utara makam Sibendo, Pundong, sisi timur perumahan.
Antara rumah Pak Yanto dan pagar tembok makam ada tanah kebonan yang ditanami pohon alpukat, rambutan, di samping beberapa batang pohon durian. Jika musim durian tiba, dipastikan akan banyak orang klinteran (lalu-lalang) dan "begadang" di seputaran kebonan.Â
Jika terdengar suara "gedebuk" atau "krosak" di tengah malam, beberapa orang berlarian sambil membawa senter, berebut menemukan durian runtuh. Terkadang ada juga orang iseng, memetik buah alpukat meskipun masih mentah.
Jalan pagi selepas subuh di desa berarti bersiap menyaksikan kesibukan petani nandur pari, lombok, leb (mencari dan mengatur air), angon bebek, atau berangkat ke pasar.
"Nandur lombok langkung ribet tinimbang nandur pari. Menawi pari kantun ngluku, tandur, ngrabuk, ndangir. Menawi lombok mboten cekap mengaten-Menanam cabai lebih ribet dibandingkan menanam padi. Kalau menanam padi cukup membajak sawah, memberi mupuk, dan membersihkan gulma. Kalau menanam cabai lebih repot," jelas Pak Wondo di sela menanam cabai di petak sawah wilayah Babrik.
Menanam cabai dimulai dengan menggemburkan tanah, menyiapkan lajur gundukan tanah (bedengan) dengan lebar dan ketinggian tertentu, sehingga di bagian bawahnya tercipta semacam parit kecil mengelilingi bedengan. Parit kecil digunakan untuk mengalirkan air agar tanaman cabai tidak kekeringan.
Sebelum penanaman, bagian atas bedengan ditutupi plastik (mulsa) berwarna hitam/perak, kemudian dibuat lubang tanam dengan jarak tertentu.Â
Pemasangan mulsa untuk menjaga kelembaban tanah dan meminimalisir gulma pengganggu tanaman. Lima hari sebelum penanaman, lahan terlebih dahulu diberi pupuk NPK.
"Mangke sak sampunipun bibit lombok radi inggil, kedhah dipasangi cagak pring amrih witipun mboten ambruk. Lha ingkang awrat malih kedah nyemprot insektisida supados mboten keserang hama lan mupuk rutin-Setelah tanaman lombok tinggi, harus dipasangi bilah bambu sebagai penahan. Kerja yang lebih berat adalah menyemprot insektisida dan memberi pupuk secara rutin," imbuh Pak Wondo.
Keriuhan lain saat jalan pagi ketika bertemu anak-anak. Ada yang sengaja jalan pagi bergerombol, ada pula yang pulang dari masjid. Mereka tak segan menyapa dengan penuh takzim, "Mangga Pak..."
Setiap jalan pagi, saya selalu mengantongi gawai karena sering ada momen-momen tak terduga yang bisa diabadikan. Baik sunrise maupun kegiatan pagi masyarakat desa saat berada di sawah maupun melintas di jalan desa.Â
Dari sini, sebagai pecinta fotografi, saya bisa mengembangkan kreativitas memotret, melakukan hal positif saat jalan pagi.
Pak Mudji dan Burung Perkutut
Di penghujung tahun 2021, saya dan keluarga pindah rumah ke wilayah Randugowang, mendekati perkotaan. Kebiasaan jalan pagi tetap dilakukan setelah subuhan.
Hanya saja pemandangannya tidak lagi hamparan sawah menghijau, bulak, tetapi lebih banyak rumah penduduk, perumahan mewah, homestay, hotel, kafe, rumah makan, warung kelontong, sekolah, kios laundry, dan tempat hiburan malam.
Meskipun begitu masih ada beberapa petak sawah dan kebonan kosong dengan pepohonan besar di beberapa tempat. Sawah di sini mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang karena tidak ada selokan irigasi seperti sawah-sawah di desa Jamblangan, Jingin, maupun Babrik.
Melintasi Jalan Randugowang Utama, Jalan Shinta, Jalan Sherdia, Jalan Pandawa, Jalan Sadewa, dan Jalan Rama, setiap berpapasan dengan sesama penghobi jalan pagi, tegur sapa berlangsung singkat: selamat pagi, mangga (mari), menganggukan kepala, atau cukup tersenyum.Â
Beberapa lama kemudian, setelah sering bertemu barulah mengenal Mbak Ratna, Pak Kawit, Pak Mudji, Pak Marno (pensiunan Dinas Pendidikan Sleman), Pak Surya (pemilik toko sepeda), Pak Hartono (pensiunan guru), dan Pak Sugiarto (bekerja di BUMN).Â
Dua nama terdepan mudah diingat karena mereka memiliki kebiasaan unik. Mbak Ratna selalu tampil fashionable dan mengenakan tas pinggang berisi makanan kucing. Ia sesekali berhenti memberi makan kucing yang menunggunya dengan setia di beberapa tempat.Â
Sedangkan Pak Kawit setiap pagi berkeliling naik sepeda jengki. Dari kejauhan, kehadirannya sudah bisa ditebak karena di bagian stang dipasangi lampu biru berkedip, sedangkan di slebor belakang dihiasi lampu berwarna kuning. Ditambah tiang antena cukup tinggi. Ia berkeliling sambil "ngebrik" dan terkadang membawa teropong.
"Ngebrik untuk bertukar informasi keamanan dan koordinasi kegiatan. Sedangkan teropong digunakan menikmati gunung merapi dari kejauhan. Siapa tau terjadi erupsi," jelas Pak Kawit saat berhenti di depan perumahan.
Sosok paling ramah adalah Pak Mudji. Lelaki renta itu setia mengurusi tiga petak sawahnya yang terpencar di selatan kampung Karang Mloko. Pergi ke sawah selalu naik sepeda onthel butut dengan sebilah arit terselip di boncengan.Â
Pada perkenalan pertama, saya dan Ibu Negara Omah Ampiran sengaja dicegat dan ditanyai nama, tinggal di sebelah mana, pekerjaannya apa. Pada pertemuan berikutnya, di petak sawah di barat kluster Vimala, ia kian membuka diri.
"Menika sabin kula. Wiyaripun sewu meter. Sampun dinyang tigang milyar. Namung mboten kula sukakaken. Lha mangke artane namung telas mboten karuan. Napa malih sak menika pados sabin angel, sami dibangun griya kontrakan. Lare-lare enem mboten purun tani-Ini sawah saya. Luasnya seribu meter. Sudah ada yang mau membeli tiga milyar. Tapi saya tolak. Takut uangnya habis entah kemana. Lagi pula mencari sawah baru sekarang sulit karena tanah sawah sudah beralih fungsi sebagai lahan pembangunan rumah kontrakan. Generasi muda sudah tidak tertarik kerja di sawah," cerita Pak Mudji.
Keasyikan jalan pagi mengelilingi Randugowang dan Karang Mloko kian terasa ketika dari atas pohon besar di kebonan terdengar suara khas burung perkutut, prenjak, yang merdu menenangkan. Di beberapa wilayah Yogyakarta, burung perkutut sengaja dilepas liarkan agar dapat hidup dan berkembang biak di alam bebas.Â
Dalam tulisan "Rezeki dan Cinta Kasih dalam Perburuan Perkutut", Iman Budhi Santosa mencatatkan bahwa sejak dulu, bagi masyarakat Jawa, burung perkutut dianggap sebagai burung "sakral", dapat memberikan berbagai isyarat atas peristiwa kosmis yang sulit dijangkau nalar.Â
Bagi kalangan tertentu, memelihara perkutut adalah dalam rangka lelaku spiritual, sehingga bukan hanya untuk klangenan, tetapi guna mengejar nilai-nilai magis.
Tidak mengherankan jika dalam masyarakat Jawa, kedudukan perkutut begitu istimewa, tidak tergeser oleh simbol-simbol peliharaan "kekinian": cucak rowo, poksay, hwa bie, bekisar, dan lovebird.
Begitulah, jalan pagi ternyata dapat menenangkan suasana hati, mengurangi stres/kecemasan. Di samping itu membantu menjaga kekuatan otot, menjadi momen bertemu orang baru, meningkatkan hubungan sosial dan memperluas pertemanan, keluar dari rutinitas sehari-hari, dan berinteraksi dengan orang lain.
Jalan pagi ternyata bukan hanya bermanfaat untuk kesehatan fisik, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan mental dan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H