Marjuddin mengedepankan bahasa yang lugas, spontan; sedangkan Yuliani dengan diksi yang dipertimbangkan  sungguh-sungguh. Sampai-sampai ia harus memungut kata-kata yang tak biasa: jerebu (kabut, asap), kesiur (bersiul, berbunyi),  lelatu (bunga api), sumir (singkat, pendek, ringkas), selincam (sekejap, sebentar), melunyah (menginjak-injak tanah), melindap (redup, samar), rungsing (lekas marah, jengkel), konfeti (potongan-potongan kertas kecil berwarna yang ditaburkan),  dan kelat (tali besar berpilin empat, pohon kayu keras).
Pemanfaatan kata-kata "istimewa" tersebut pada titik tertentu akan mampu menciptakan jarak komunikasi dengan pembaca. Efeknya tidak semua pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami sepenuhnya oleh pembaca.
Begitulah pemikiran yang terlontar dalam acara Obrolan Sastra edisi 3 yang dilaksanakan oleh Komunitas Sastra Bulan Purnama di Museum Sandi (8/7/2023) dengan menghadirkan pembicara Indro Suprobo (menggantikan Fauzi Absal) dan Herry Mardianto, dimoderatori oleh Dhanu Priyo Prabowo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H