Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengeja Puisi dalam Trilogi Teka-teki Titik Nol dan Soneta Tunjung Hati

8 Juli 2023   20:26 Diperbarui: 9 Juli 2023   05:21 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tunjung Hati/Foto: Hermard

Marjuddin mengedepankan bahasa yang lugas, spontan; sedangkan Yuliani dengan diksi yang dipertimbangkan  sungguh-sungguh. Sampai-sampai ia harus memungut kata-kata yang tak biasa: jerebu (kabut, asap), kesiur (bersiul, berbunyi),  lelatu (bunga api), sumir (singkat, pendek, ringkas), selincam (sekejap, sebentar), melunyah (menginjak-injak tanah), melindap (redup, samar), rungsing (lekas marah, jengkel), konfeti (potongan-potongan kertas kecil berwarna yang ditaburkan),   dan kelat (tali besar berpilin empat, pohon kayu keras).

Pemanfaatan kata-kata "istimewa" tersebut pada titik tertentu akan mampu menciptakan jarak komunikasi dengan pembaca. Efeknya tidak semua pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami sepenuhnya oleh pembaca.

Titik Nol Tunjung Hati/Foto: dokpri
Titik Nol Tunjung Hati/Foto: dokpri
Begitulah pemikiran yang terlontar dalam acara Obrolan Sastra edisi 3 yang dilaksanakan oleh Komunitas Sastra Bulan Purnama di Museum Sandi (8/7/2023) dengan menghadirkan pembicara Indro Suprobo (menggantikan Fauzi Absal) dan Herry Mardianto, dimoderatori oleh Dhanu Priyo Prabowo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun