Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengeja Puisi dalam Trilogi Teka-teki Titik Nol dan Soneta Tunjung Hati

8 Juli 2023   20:26 Diperbarui: 9 Juli 2023   05:21 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya mencoba membolak-balik  antologi puisi Trilogi Teka-teki Titik Nol (Marjuddin Suaeb) dan antologi soneta   Tunjung Hati (Yuliani Kumudaswari), keduanya diterbitkan Tonggak Pustaka (2023), maka terbentang dua jagad  yang berbeda, bahkan bisa jadi bertolak belakang. 

Marjuddin menghadirkan dunia yang bebas, sesuka hati, tak beraturan, liar, cair, nut ing karep. Tentu Marjuddin, tidak seperti Iman Budhi Santosa, Sapardi Djoko Damono, maupun Herlinatiens yang selalu menginventarisasi dan menyeleksi kata dengan khusyuk untuk setiap puisi mereka; ia dengan sesuka hati memilih kata yang dirasa mewakili apa yang dipikirkan dan hendak diungkapkan.

Tak salah jika kemudian Fauzi Absal (penyair), menilai puisi-puisi Marjuddin mempunyai pola ucap liar dan lugas. Sedangkan Genthong Hariono (praktisi teater) mengatakan bahwa membaca antologi puisi Trilogi Teka Teki-Titik Nol, pembaca akan dikejutkan dengan pemakaian kata dan gramatika yang kurang lazim. 

Indro Suprobo menyatakan, karena gaya dan karakter puisi-puisi Marjuddin yang cenderung menggunakan diksi pendek, ringkas, penuh teka-teki, dan sangat subjektif, ia cenderung menyebut Marjuddin sebagai penyair sesesionis, sehingga puisi-puisinya juga cenderung bersifat sesesionis. 

Dalam wacana sastra, penyair atau sastra sesesionis adalah penyair atau sastra yang memiliki kecenderungan  memisahkan diri dari kelaziman struktur bahasa dan makna yang telah berdaulat, lalu membangun kedaulatan struktur dan makna sendiri. 

Ini mengakibatkan, para pembaca awal, editor, atau penikmat sastra  tidak dapat dengan mudah segera menemukan arti atau makna dari struktur bahasa yang digunakan penyair. Dibutuhkan pengambilan jarak yang lumayan serius dan pelibatan imajinasi yang sungguh-sungguh membutuhkan perjuangan, agar dapat "kurang lebih terlibat dalam proses konstruksi makna dari struktur puisi yang digunakannya". 

Ada kalanya pembaca berhasil memasuki konstruksi makna itu, dan memahaminya, meskipun barangkali tidak sempurna dan tidak sepenuhnya, namun paling tidak ada jejak-jejak yang dapat ditapaki. Namun, ada kalanya pembaca benar-benar kesulitan dan tak berhasil melibatkan diri dalam konstruksi makna yang tersembunyi di dalamnya.   

Meskipun begitu, ujar Dhanu Priyo Prabowo (pengamat sastra), puisi-puisi Marjuddin menjadi menarik, kata dirangkai dengan gaya yang mengalir tanpa dibebani  penafsiran yang berlebihan, sehingga akhir dari pemaknaannya terhadap peristiwa-peristiwa yang disampaikan menjadi enak dinikmati.

Sebaliknya, Yuliani tampil dengan dunia yang serba tertata rapi, tertib, penuh kehati-hatian, dan personal. Tentu saja pilihan pada "kebebasan" dan "ketertiban" itu sah-sah saja adanya.

Bukankah kebebasan seorang penyair dalam menulis puisi merupakan  aspek penting yang memungkinkan mereka  mengekspresikan pikiran, emosi, dan pengalaman  secara kreatif, mencerminkan perspektif masing-masing dalam berkontribusi memperluas pengetahuan dan imajinasi pembaca (audience)?

Bertukar Pikir/Foto: Ons Utoro
Bertukar Pikir/Foto: Ons Utoro
Dalam "mengeja" antologi puisi Trilogi Teka-teki Titik Nol, ada baiknya kita berangkat dari semacam "pitutur" yang diyakini Marjuddin bahwa puisi (ku)  bukan (sekadar)          arti tapi nikmati. Atau memahami refleksi Marjuddin terhadap puisi: bahwa menjadi seorang penyair bukanlah merupakan hal  mudah, membutuhkan ketekunan dan ketahanan.

Kehebatan penyair dalam menulis puisi akan terasa jika lirikannya  setajam rajawali dan sindirannya memanah langsung ke sanubari pembaca.  Puisi dapat menjadi nyanyian tanpa irama,  memiliki kebebasan ekspresi dan dapat menyentuh semua aspek kehidupan manusia.

Sejatinya, puisi menyediakan ruang bagi penyair untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan terdalam, berfungsi sebagai saluran katarsis (kelegaan emosional) untuk pengalaman pribadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun