Cerkak dengan teknik sorot balik ini berhasil membawa pembacanya "berlarian" dari satu permasalahan ke permasalahan lain secara dinamis sehingga cerkak ini tidak sekedar hadir sebagai potret dunia hitam---putih. Setidaknya pembaca bisa memperdebatkan siapa sesungguhnya yang mengajak Somad merampok: apakah orang lain (perampok profesional), bayangan dirinya sendiri, atau hati nuraninya (?).Â
Somad disudutkan oleh kebutuhan, tidak hanya terbatas pada kebutuhan hidup keluarga tetapi juga karena harus mengundurkan pagar akibat terkena pelebaran jalan. Tidak mengundurkan pagar berarti "melawan" penguasa, Â jika mengundurkan pagar tidak punya biaya; hutang pun tidak mungkin lagi. Pikiran Somad menjadi buntu, kalut, putus asa, sehingga ia berniat bunuh diri dari atas jembatan. Pada saat kritis itulah "ilham" atau "bisikan"datang.Â
Dalam keselurahan cerita, Somad berada di dua dunia: dunia nyata (kesadaran) dan dunia tak nyata (ketaksadaran). Dunia ketaksadaran memunculkan "kejanggalan-kejanggalan" yang seharusnya tidak perlu dipersoalkan ketika pembaca menyadari bahwa dunia "Rampog" adalah dunia fiksi dengan berbagai kemungkinan, bukan kepastian.Â
Dalam dunia ketaksadaran bisa saja Somad yang juru ketik tiba-tiba menjelma menjadi perampok, mampu menggunakan senjata api dengan tangan kiri (meskipun ia tidak pernah belajar cara menggunakan senjata api), mengikuti kata hati menjadi perampok, menyebar uang hasil rampokan tanpa rasa bersalah. Relasi Somad dengan dunia orang-orang kantor adalah relasi realita, sedangkan relasi Somad dengan dunia rampok adalah relasi irasional. Â (Herry Mardianto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H