Setelah kemerdekaan, Suparto Brata membaca beberapa buku roman kejahatan, antara lain Gerombolan Gagak Mataram dan Gerombolan Mliwis Putih. Buku-buku tersebut, menurut Suparto Brata,  memiliki model cerita  jauh dari kisah-kisah detektif, apalagi jika dibandingkan dengan cerita Kyai X. Hal itu terjadi karena Gerombolan Gagak Mataram dan Gerombolan Mliwis Putih lebih mengetengahkan cerita bagaimana cara memberantas kejahatan dari pada menggunakan penalaran memecahkan misteri kejahatan.
Cerita detektif yang dihasilkan Suparto Brata dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu cerita detektif seri Handaka dan cerita di luar seri Handaka. Beberapa cerita detektif seri Handaka adalah: (1) Tanpa Tlacak (semula merupakan cerita bersambung dalam majalah Panjebar Semangat, 1959, diterbitkan dalam bentuk buku oleh  CV Pustaka Sari, Surabaya, 1962); (2) Emprit Ambuntut Bedhug (dimuat secara bersambung dalam Panjebar Semangat, 1960, diterbitkan oleh Penerbit Djaja Baja, 1965); (3) Tretes Tintrim (dimuat bersambung dalam Jaya Baya, 1965, diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Lawu, Solo, 1967); (4) Jaring Kalamangga (dimuat bersambung dalam majalah Jaya Baya, 1965); dan (5) Garuda Putih (dimuat bersambung dalam Panjebar Semangat, 1974).Â
Di luar novel seri Handaka, hadir novel Pethite Nyai Blorong, "Candikala" (Suparto Brata menggunakan nama samaran Andanawarih), Ngalacak Ilange Sedulur Ipe (dengan nama samaran Peni), Sala Lelimengan, dan beberapa cerkak/cerpen yang termuat dalam antologi Trem (Pustaka Pelajar, 2000).
Kecenderungan penulisan cerita detektif yang dilakukan Suparto Brata berpengaruh pula dalam cerkak/cerpen yang terkumpul dalam antologi Trem. Beberapa cerkak memuat unsur "pelacakan", Â kejahatan/pembunuhan, di samping ada cerkak yang mengedepankan persoalan-persoalan sosial yang getir, humoris, dengan situasi hitam putih.Â
Unsur "pelacakan" terdapat dalam cerkak "Trem", menceritakan bagaimana keinginan Dulmawi (tukang arloji di Pasar Keputran) berkenalan dengan seorang perempuan yang selalu satu trem dengan dia. Cerkak "Trem" memperlihatkan kedekatan pengarang dengan wilayah geografis dan sosial. Suparto Brata mengetahui secara detail wilayah Surabaya dan mampu menggunakan dengan luwes dialek Jawatimuran dalam cerkak tersebut.Â
Pemanfaatan suspense (dengan menyembunyikan siapa sesungguhnya Ijah) merupakan salah satu ciri cerita detektif yang memberikan informasi sedikit demi sedikit agar menimbulkan keingintahuan pembaca terhadap penyelesaian cerita.Â
Hal yang sama ditemui dalam cerkak "Nglari Nakagawa"; pengarang tidak memberitahukan kepada pembaca siapa sesungguhnya Repi --perempuan  yang disinyalir berkaitan dengan kepergian Nakagawa; siapa sesungguhnya orang kurang waras yang selalu berada di atas jembatan desa sehingga mengetahui siapa saja yang keluar masuk desa. Hilangnya Nakagawa merupakan misteri, membuat cerita menjadi mencekam. Pengaruh cerita detektif terasa kuat dengan adanya pelacakan yang dilakukan Merto terhadap kepergian Nakagawa.
Cerkak lain yang menarik dan mendatangkan polemik adalah "Rampog". Cerkak ini menjadi perbincangan dalam diskusi bulanan Nyemak Crita Cekak yang diadakan oleh Sanggar Triwida tahun 1981. Diskusi bulanan Nyemak Crita Cekak selalu membicarakan cerita-cerita pendek yang dianggap menarik dan dimuat dalam majalah Jaya Baya atau Panjebar Semangat. "Rampog" dijadikan pilihan karena di samping ceritanya bagus; pengarangnya pun dinilai cukup terkenal.
"Rampog" bercerita mengenai juru ketik (wong cilik) bernama Somad yang jujur dan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia harus menghidupi seorang isteri dan empat orang anak. Ditambah lagi kewajiban memikirkan uang sekolah, gizi anak-anak, dsb. Meskipun ia mempunyai pekerjaan sampingan sebagai agen majalah dan koran, menerima jasa pengurusan SIM serta STNK, semua itu tidak cukup  menutupi keperluan sehari-hari.Â
Karena terdesak keadaan dan "bisikan" untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, akhirnya ia mengambil jalan pintas: merampok! Pekerjaan ini melahirkan perang batin karena ia dikenal sebagai orang jujur.Â
Secara makro, "Rampog" merupakan perwujudan kritik sosial pengarang terhadap berbagai peristiwa/kenyataan yang terjadi dalam masyarakat: tergerusnya nasib wong cilik dalam hiruk-pikuk pembangunan, buruknya dunia pendidikan di Indonesia, ancaman kemajuan teknologi (karena kebodohan bangsa Indonesia), dan kurang efektifnya kerja polisi dalam mewujudkan keamanan bagi masyarakat luas.