Mohon tunggu...
Herry Dim
Herry Dim Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni, penulis seni/kebudayaan, dan lingkungan hidup

Pekerja seni, lukis, drama, tata panggung teater, menciptakan wayang motekar. Pernah menulis di berbagai media serta berupa buku, aktif juga dalam gerakan-gerakan lingkungan hidup dan pertanian. Kini menjadi bagian dari organisasi Odesa Indonesia, dan sedang belajar lagi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jeprut adalah Perlawanan

22 Oktober 2021   16:03 Diperbarui: 22 Oktober 2021   16:08 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "jeprut" itu sendiri saya pungut dari pernyataan Molly Agustina yang suatu ketika melihat suaminya, Tisna Sanjaya, melakukan kegiatan "mahiwal." Sambil menatap kelakuan sang suami, Molly berkata: "Tah si akang tos ngajeprut deui bae" (tuh suamiku sudah jeprut lagi).

Seperti yang saya ungkapkan di dalam tulisan kado (yang mungkin telah hilang) tersebut, padanan terdekat dan harfiah atas kata "jeprut" adalah manakala lampu (bohlam) tiba-tiba putus. Sementara kata "jeprut" atau "ngajeprut" dalam percakapan bahasa Sunda itu kerap dialamatkan kepada seseorang yang tiba-tiba terganggu pikiran atau pun kejiwaannya. 

Saya sendiri jatuh cinta kepada istilah tersebut karena tak jauh dari saat itu saya pun tengah membaca sebuah artikel di majalah Intisari, di sana ada uraian ilmiah populer dari hasil penelitian terhadap van Gogh dan Salvador Dali. Artikel tersebut menyebutkan (bahkan rasanya menjadi judul) bahwa begitu tipis batas antara "kegilaan" dan "kejeniusan." Dari urut-urutan itu pula kemudian saya senantiasa membedakan antara "kegilaan" dengan "ketidakwarasan."

Tanpa maksud membuat definisi, habitus jeprut, paling tidak sampai dengan catatan ini disusun, kiranya adalah kegilaan untuk melakukan perlawanan terhadap "kemandegan" dan apalagi kebobrokan yang terjadi secara sosial, politik, ekonomi, atau pun estetik. 

Berkenaan dengan ini, maka saya sering dibuat kagum oleh jeprutnya Wawan S. Husin. Bayangkan manakala agama-agama mengalami pembekuan dan/atau bukan sebaliknya menjadi tempat untuk saling memperluas diri, membentuk manusia menjadi jembar, shaleh secara religius sekaligus sosial, tempat pembebasan rohani; sehingga agama menjadi terjebak di dalam formalisme, kaku, sulit bahkan tegang dalam bertutur sapa dengan yang berbeda -- Wawan S Husin kerap "ngajeprut" dengan "doa" yang bersumberkan dari aneka agama/kepercayaan. Itu adalah perlawanan terhadap kebekuan, kekakuan, dan ketegangan tadi. Doa menjadi manusiawi kembali, manusia menjadi kembali saling-terhubung meski satu sama lain berasal dari sumber dan kepercayaan yang berbeda.

Jeprut memungkinkan untuk itu!     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun