Itu sekadar gambaran ringkas bahwa jeprut adalah apapun. Lantas, bagaimana dengan jeprut sebagai perlawanan?
Jawabnya, mau tak mau, harus dengan menengok genealogi atau sui generisnya sebagaimana berikut ini.
Sui Generis Jeprut
Prinsip-prinsip "hadir," "setiap orang adalah seniman," dan "apapun" yang menjadi landasan jeprut atau pun "seni baru" pada umumnya, itu menjadi menarik dalam sejumlah hal.
Prinsip "hadir" menodorng seniman keluar dari studio atau ruang pribadinya untuk kembali melihat bahkan hadir menjadi bagian dari dunia dan kehidupan sekelilingnya.Â
Seniman tidak lagi berada di kuil-kuil seni atau pun kemegahan yang dibangunnya demi "jaim" bahwa ia orang "yang disucikan dalam hal seni" dan menjadikan kuilnya itu untuk merenung-renung agar menemukan ilham keadiluhungan seni, melainkan turun ke jalan, ke tempat-tempat buruh bekerja, bersatu dengan petani atau pun nelayan.Â
Sawah, misalnya, tidak lagi dipandang dari kejauhan sebagai pemandangan eksotis dengan padi hijau atau menguning dilatari gunung dan alur sungai yang elok; kini, meski seniman tak harus dari/menjadi petani maka sekurang-kurangnya sawah itu menjadi wilayah empirik sekaligus (semacam) studi, maka lumpur sawah yang mengotori kaki hingga seluruh tubuh, alat kerja, bahkan kerbau sebagai kerabat untuk membajak itu mejadi hal yang teralami ketimbang dipandangi. Demikian halnya dengan ngarai dan sungai, ia tak lagi sebagai objek yang dipandangi sambil berucap "elok nian kelok dan alur sungai itu" lantas melukiskannya; kini, senimannya malah "ancrub" (turun ke sungai) dan menyusurinya sepanjang ia sanggup.Â
Maka bukan lagi keelokan yang dijumpai melainkan sungai yang sudah sangat tercemar, bau busuk yang menyengat, tak menunjukan lagi kehidupan ikan, dan tentu saja jauh dari bening [lihat catatan lain: Herry Dim, "Prinsip 'Achtung' dan 'Tolak Bala' pada Seni Kita"].
Tisna Sanjaya bersama komunitas Ke'ruh (Isa Perkasa, Rahmat Jabaril, Wawan S Husin, dll), kerap melakukan jeprut di sungai-sungai Cikapundung, Citarum, hingga Bengawan Solo. Setidaknya tercatat jeprut "Doa Sumber Mata Air Cikapundung untuk Mandela," kemudian juga semacam "doa" melarung segala kotoran dalam rangka proses pemilihan presiden RI 2014, dan lagi-lagi "doa" untuk negeri yang dilakukan di Bengawan Solo yang kesemuanya berlangsung antara tahun 2013 - 2014. Jauh sebelumnya, 1997, adalah karya "Rakit" memenuhi lebaran sungai Ciliwung sekira 16 m dengan susunan sejumlah rakit yang panjangnya tak kurang dari 32 m. Karya yang bermula dari penulis (Herry Dim) tersebut kemudian dikerjakan bersama (alm) Hendrawan Riyanto lantas melebar secara emansipatoris hingga akhirnya menjadi karya bersama dengan Endo Suanda, Deden Sambas, Sulasmoro, dan sejumlah ahli bambu yang didatangkan dari Bandung untuk mengerjakannya. Manakala karya tersebut "sudah menjadi," setiap hari/malamnya, sepanjang berlangsungnya "Festival Istiqlal II," menjadi "pentas" yang diisi oleh musik Harry Roesli, dkk., Putu Wijaya, Rendra, Tony Broer, Ine Arini, Ikranagara, Sitok Srengenge, Marjorie Suanda, Wawan S. Husin, dll.Â
Pada saat itu pula kata sambung "daripada" yang suatu saat menjadi semacam "semiotika kekuasaan" mulai secara terbuka dilontarkan bahkan melalui pengeras suara bersama musiknya Harry Roesli. Padahal festivalnya itu sendiri disponsori oleh regim yang saat itu sedang berkuasa.
Prinsip hadir dengan sendirinya mendorong setiap jepruter untuk bersinggungan dengan masyarakat dan lingkungannya. Dorongan inilah yang memunculkan prinsip yang kedua yaitu "setiap orang adalah seniman." Peristiwa seni jeprut menjadi sangat emansipatoris, menjadi terbuka bagi kalangan apapun di luar profesi seni, bahkan terbuka pula bagi keterlibatan masyarakat umum. Ini yang kemudian menjadikan peristiwa jeprut kerap menjadi semacam ritus baru.Â