Pertanyaan kita sekarang: apa kiranya yang mendorong lahirnya jeprut di kalangan seniman Bandung?
Itu, sesungguhnya, merupakan pertanyaan yang seyogianya dikejar dengan serangkaian kerja genealogis berupa kajian sejak tentang "keluarga," penelusuran jalur keturunan, serta sejarah atau silsilah dari setiap pelakunya. J
ika serangkaian kajian tersebut dilakukan, saya yakin, akan mengantar kepada pembuktian bahwa jeprut itu sui generis (sejatinya) seni baru yang lahir atau dilahirkan oleh seniman Bandung dan kemudian menjadi semacam gerakan seni. Ia dilahirkan oleh dan/atau reaksinya terhadap keadaan sosial, politik, ekonomi, dan juga kerangkeng estetik.Â
Gerakan-gerakan happening art dan Fluxus seperti telah disebut di atas, itu akhirnya merupakan bagian kecil sebab situasi tempat lahirnya sui generis jeprut justru menjadi pendorong yang lebih besar.
Yang disebut situasi sui generis jeprut itu tentu saja keadaan Indonesia, suatu keadaan yang demikian mencekam tapi sekaligus begitu membuai, ya, semacam dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.Â
Mencekam karena suasana penuh dengan represi yang terbuka atau pun digerakan oleh pusat kekuasaan secara terselubung. Tekanan tersebut dibelakukan demi konsep "pembangunan" yang harus berjalan lancar dan/atau tak boleh ada gangguan apapun. Hasil pembangunan memang menggiurkan, terutama ditandai dengan pesatnya pembangunan gedung-gedung di pusat pemerintahan, Jakarta. Gaya hidup kemapanan dan kenyamanan diciptakan di pusat dengan mengabaikan bagian lain dari Indonesia yang lebih besar. Gaya hidup baru tersebut antara lain dijadikan sebagai tanda keberhasilan pembangunan.Â
Bersamaan dengan berlangsungnya semangat pembangunan, antara lain, adalah sebuah kelompok diskusi yang bernama "Kelompok Sepuluh" yang melakukan diskusi-diskusi dengan cara bergerilya dari rumah ke rumah. Kelompok ini adakalanya menyelenggarakan pembahasan yang menyuruk kepada pembicaraan seni (sastra, teater, senirupa) an sich tapi kerap juga melakukan pembahasan mendalam seputar politik, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia secara menyeluruh.
Hampir semua eksponen "Kelompok Sepuluh" itu adalah pekerja pers dan/atau setidaknya berkait dengan kehidupan pers, sastrawan, seniman, aktivis kampus, dan dosen. Tapi selama itu pula tak seluruh makalah dan pembicaraan diskusi bisa dimaklumatkan melalui media-media tempat mereka bekerja. Beberapa teks yang lolos (antara lain melalui H.U. Pikiran Rakyat) adalah tulisan atau pun reportase diskusi yang dianggap "aman," sementara yang dianggap "tak aman" dibiarkan berkembang di dalam kepala masing-masing atau adakalanya bocor memalui forum-forum pembicaraan lain.
Di antara "yang tak aman" itu antara lain dibicarakan bahwa keberhasilan pembangunan itu tak lain merupakan keberhasilan semu dan/atau bukanlah pembangunan yang berdasarkan daya sendiri melainkan bersumberkan kepada dana pinjaman dari IGGI (Inter-Governmental Group on-Indonesia), yaitu suatu kelompok negara-negara maju dan juga lembaga-lembaga internasional yang memberikan pinjaman kepada Indonesia untuk membiayai pembangunan. Lembaga ini didirikan pada tahun 1967 dan pusat kegiatannya di Den Haag, Belanda.
Sebagai catatan saja, bahwa jejak utang beserta bunga atas nama "pembangunan" itu masih terasa menjerat leher hampir seluruh rakyat Indonesia yang tergolong miskin hingga saat tulisan ini disusun, bahkan kian membuat sulit bernafas karena ditambah lagi dengan utang baru dari Bank Dunia atau pun negara/lembaga donor lainnya.
Dana utang tersebut menjadi lebih menyakitkan karena dikelola dengan gagasan Trickle Down Effect (TDE) yang dirancang sejumlah teknokrat dan ekonom regim Soeharto. TDE, saat itu, dianggap sebagai sistem perekonomian paling ideal untuk memajukan perekonomian bangsa. Pola ekonominya dimulai dengan menyejahterakan level atas untuk kemudian 'dibayangkan' akan menetes ke level paling bawah.Â