Maka bisa beserta personal peneliti atau lembaga lingkungan hidup, politisi, agamawan/rohaniawan, dan sebagainya.Â
"Setiap orang adalah seniman" (everyone is an artist) seperti yang dicetuskan Joseph Beuys dan kemudian menjadi "keimanan seni"nya Fluxus pun berbayang di hampir setiap gerakan jeprut. Ini pula yang mengantar kepada pengertian "jeprut itu bisa apapun," anything goes.
Mengingat dunia sejak perkiraan pertengahan tahun 1980an itu mulai tumbuh menjadi "desa elektronik global" (the global electronic village) dengan masing-masing penghuninya bisa saling terhubung dalam tempo yang jauh lebih cepat dari sebelumnya, maka lintas-informasi, lintas-fenomena, lintas-seni, lintas-budaya pun berlangsung dalam percepatan yang tinggi.Â
Saling pengaruh dan saling akses ihwal seni dan fenomenanya menjadi sangat terbuka. Kawan-kawan "jepruter" yang sebagai besar di antaranya adalah "anak sekolahan," rasanya tak terhindarkan dari "gaul gagas" di "desa baru" yang saling-terhubung secara elektornis lantas mendorong pula kesaling-terhubungan tubuh yang kemudian menjadi "gaul karya."
Ah, tapi di bawah matahari ini sesungguhnya tidak ada yang baru. La jadidu tahtasy syamsi, demikian kata pepatah Arab atau "tidak ada yang baru di bawah matahari, semua terulang kembali" seperti tertera di dalam Injil (Pengkhotbah 1:9), atau "if there be nothing new" seperti termaktub pada bait awal Sonneta 59 Shakespeare, dan Wing Kardjo di dalam salasatu haiku-nya yang berjudul "Simulacra" menulis: Hidup imitasi dari / sekian imitasi. Tak baru / di bawah matahari.
Saling terhubung dan saling pengaruh telah terjadi sejak awal mula manusia dan kebudayaannya ini meng"ada." Maka saling-sua budaya itu tak hanya terjadi pada Paul Gauguin di Tahiti pada 1890an, lazim juga terjadi pada Van Gogh (seperti diungkapkan dalam suratnya kepada saudaranya, Theo) yang terkagum-kagum dan kemudian "belajar" pada ukiyo-e atau seni cetak cukil kayu Jepang, Picasso yang dipengaruhi topeng Afrika, Antonin Artaud yang dirasuki teater Bali dan bahkan kemudian membuka babak baru yang disebut avant-garde. Tambah ke sini "gaul" seperti itu kian panjang, Jackson Pollock dan Mark Rothko untuk sekadar menyebut diantaranya yang "belajar" kepada Zen Buddhisme hingga membentuk gerakan ekspresinonisme Amerika.
Maka yang menjadi menarik di dalam seni di kemudian hari bukanlah pada siapa yang lebih dahulu dan mana yang terpengaruh, melainkan pada perkara-perkara bagaimana seni itu hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Ini pula yang merupakan akhir dari "Critique of Judgment" Kant dan pengikutnya (Kantianisme). Pencapaian seni tidak lagi didasarkan pada timbangan atau penghakiman nilai berdasarkan baik atau buruk, indah atau tak indah, agung (adiluhung) atau dunia cacah. Kelak runtuh pula batas-batas klasik atau modern, Barat atau Timur, kontekstual atau universal, seni maskulin atau feminin, tokoh atau bukan tokoh, dan seterusnya.
Seni menjadi bergeser kepada kehadiran (present) atau pun penghadiran (represent) atas segala hal yang bersinggungan dengan pelaku (seniman)nya. Andai kata pun "Critique of  Judgment" sepertinya masih terasa ada, umumnya memang "dipertahankan" oleh dunia pasar sebab ada kecemasan akan terganggunya harga jual "old master" yang artinya bisa berkenaan dengan kegoncangan yang luar biasa di berbagai hal.Â
Terakhir adalah pada pilihan tempat bagi presentasi atau pun representasinya; meski jeprut bisa hadir pada kenduri-kenduri formal di galeri-galeri, museum, atau keagungan kuil-kuil seni lainnya -- tapi pada dasarnya jeprut lebih berkehendak tampil dimanapun.Â
Seperti halnya teater avant-garde atau teater absurd yang dirumuskan Martin Esslin bahwa teater mutahir berkeinginan besar untuk bisa hadir kembali di tengah-tengah masyarakatnya.Â
Ya, tulis Esslin, teater kembali menjadi ritus. Namun, lanjutnya, meski adakala masih membawa citra-citra ritus purbawi tapi yang dihampiri sesungguhnya kerumunan atau ritus-ritus mutahir seperti halnya kerumunan peristiwa sepakbola, politik, atau pun aksi-aksi sosial.