Mohon tunggu...
Herlambang Kusuma Wardana
Herlambang Kusuma Wardana Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Kata-kata telah tumbuh di pagi yang ranum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Emperan Toko Obat

17 Januari 2022   13:28 Diperbarui: 17 Januari 2022   13:43 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DI EMPERAN TOKO OBAT

Oleh : Herlambang Kusumawardana

Pagi cerah. Seperti biasa aku datang ke kantor selalu lebih awal dari karyawan lainnya, untuk mengerjakan setiap tugas dan tanggung jawabku sebagai office boy. Membersihkan seluruh ruangan kantor dan menyiapkan seluruh kebutuhan yang  diperlukan setiap hari. Aku hanya seorang diri bekerja sebagai office boy. Walau kompensasi atau imbalan yang aku terima tidak sesuai dengan pekerjaan yang seabrek aku terima. 

Meski undang-undang tenaga kerja telah direvisi beberapa kali untuk mengatur kesejahteraan karyawan, tetap saja belum memberikan dampak yang nyata bagi karyawan sendiri. Apa mau dikata semua pekerjaan harus aku lakukan, yang penting halal. Sebab sekarang ini mencari pekerjaan sangatlah susah, persaingan semakin ketat. Apalagi aku hanya lulusan SMA, masih untung aku mendapatkan pekerjaan ini daripada harus mengganggur, karena orang tua tidak mampu lagi untuk membiayai kuliah, sebab adik-adikku juga harus sekolah. Aku harus bersyukur atas apa yang aku dapatkan dan nikmati sekarang ini.

Selesai mengerjakan tugas, aku biasa duduk di pantri yang kebetulan berada dekat ruangan satpam. Jam dinding di ruangan menunjukkan pukul 07.00 WIB. Di kantor hanya ada aku dan satpam. Biasanya direktur dan karyawan lainnya datang agak nanti, karena jam kerja dimulai pukul 08.00 WIB. Aku pun santai di ruangan sambil membereskan kotoran yang masih tercecer. Kebetulan pantri menghadap ke jalan raya, jadi aku dengan leluasa dapat melihat lalu lalang orang atau kendaraan. Kantorku berada berderet dengan toko-toko yang berdiri di pinggir Jalan Mayor Syafrie Rahman, yang merupakan jalan utama di kotaku.

Di emperan toko obat samping kantor yang jaraknya kurang lebih lima meter, dua buah bola mata menembus kaca pantri hingga ke dalam dada. Seketika hatiku teraduk-aduk. Apalagi ketika senyuman itu mengembang, sungguh menawan hati. Tak pernah aku bayangkan, pagi yang sungguh mengencangkan otot-otot diseluruh tubuh dan mengalirkan aliran darah di dalam nadi begitu cepat. Pagi yang membuat jantung semakin berdetak kencang. Aku terpesona tatapan mata dan senyuman itu.

Aku mencubit tangan untuk membuktikan bahwa apa yang telah aku lihat bukan sedang bermimpi.

"Aduh!" teriakku karena terlalu keras mencubit.

"Ini nyata!"

"Ada apa, rul?" tanya satpam kantor yang berlarian ingin mengetahui kejadian yang sedang menimpaku.

"Tidak ada apa-apa kok pak, cuma kesenggol air panas dari gelas," jawabku malu menyembunyikan kebenaran dari kekonyolan tingkah yang baru saja aku lakukan. Karena apabila aku mengatakan sebenarnya yang terjadi, tentu satpam itu akan meledek dan membuat malu diriku sendiri.

Mataku tak lepas dari tubuh yang berdiri di emperan toko obat samping kantor. Sosoknya anggun. Rambutnya hitam berkilauan. Bibirnya mungil. Bola matanya bersinar indah.

"Siapakah dia, yang telah berani menggugah rasa yang selama ini terkubur?" kataku dalam hati.

Langkahnya gemulai saat memasuki toko obat yang berada tepat di depan tempatnya berdiri. Sungguh seperti seorang puteri keraton yang sedang berjalan-jalan di puri kedaton.

Angin semilir menyelinap di antara etalase dan jendela pantri. Membuat suasana hati semakin bergairah, merasakan kembali perasaan yang terkubur bertahun-tahun lamanya. Tatapan mata dan senyuman manis itu yang kini telah mencairkan hati. Sungguh anugerah yang tak terkira jika bisa mengenalnya, apalagi sampai memilkinya. Sebab luka yang tertanam bertahun lamanya tak ingin aku alirkan kembali.

Lamunanku pudar saat seorang karyawan menepuk pundak.

"Hayo! Lagi ngalamunin apa?" tanya Dika

"Eh, mas Dika ngagetin aja, ngak ngalamun kok mas," jawabku tersipu

Sore hari setelah seluruh karyawan pulang kantor, aku kembali membereskan dan merapikan ruangan kerja karyawan. Tapi hati ini seharian gundah memikirkan dirinya yang telah menikam hati.

Senyumnya membuka jendela hati yang terkunci luka. Dengan gemulai menyusup di antara jeda jendela dan pintu kantor yang berderet dengan toko--toko Jalan Mayor Syafrie Rahman. Semilir mengitari ruang kosong di hati. Sungguh sejuk dan segar rasa yang tercipta. Mengisi hampir separuh nafasku dengan penuh semangat. Semoga rasa ini tidak pernah salah lagi.

Sungguh tak pernah aku bayangkan akan bisa kembali merasakan rasa yang lima tahun lalu terkubur. Sebab rasa itu tak pernah aku rasakan lagi. Lenyap bersama waktu. Mungkin karena diriku tidak mau mengenangnya atau mengukirnya menjadi prasasti di dalam hati. Mungkin terlalu egois untuk tidak mau menerima semua kenyataan yang terjadi saat itu. Karena sakit yang terasa sungguh telah melukai hati. Aku limbung karena tak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan perasaan.

Diriku dikhianati. Dirinya memilih cinta berlimpahan materi ketimbang cinta yang lahir dari murninya nurani. Memang kuakui diriku tidak seperti lelaki yang dirinya impikan. Sebenarnya sah-sah saja apabila dirinya memilih lelaki yang pantas untuknya. Sekarang bukan lagi seperti zaman sebelum RA Kartini, lelaki berhak menentukan pilihan sesuka hati. Sekarang wanita pun telah mempunyai porsi yang sama dengan laki-laki untuk menentukan pilihannya.

Kenapa diriku merasa seperti dipecundangi, ataukah diriku memang pantas untuk dipencundangi atau memang diriku seorang pecundang? Entahlah. Tapi sungguh aku merasakan sakit yang tak terperi.  Sungguh kematian cinta yang tak pernah kuinginkan.

Aku biarkan semua mengalir menganak sungai melintasi muara bahkan ke lautan lepas sekalipun. Aku biarkan terbang melintasi samudera dan pegunungan yang luas. Aku biarkan sayapnya berhenti ketika lelah, karena tak satupun yang mampu menjadi rumah bagi hati. Mungkin akan kubiarkan menjadi perjaka tua karena telah menyerah tak pernah menemukan cinta sejati. Ataukah sebenarnya diriku takut untuk menerima rasa itu lagi? Padahal selama ini diriku selalu berada di antara bunga-bunga yang bermekaran bak jamur yang tumbuh di musim penghujan. Tapi tak satupun sosoknya mampu menggetarkan hati.

Hari itu seharian di kantor aku tidak merasa nyaman. Selalu terbayang dirinya. Hampir pekerjaan yang aku kerjakan berantakkan karena konsentrasi buyar. Untung semuanya bisa aku atasi dengan segera sebelum semua menjadi tambah runyam.

Malam harinya tidurku pun tak nyenyak. Tatapan mata dan senyumannya tidak mau keluar dari kamarku. Dirinya telah merusak selera tidurku. Lebai! Tapi itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Aku habiskan malam di depan komputer untuk bercerita tentang perasaan yang saat ini kurasakan. Karena dirinya telah memporakporandakan hati.

Esok harinya aku kembali melakukan aktivitas rutin, walau mata merasakan kantuk yang sungguh luar biasa karena semalaman tidak bisa tidur. Hanya memikirkan dirinya: wanita yang tak pernah kuharapkan kehadirannya.

Tidak seperti biasanya aku berada di luar ruangan kerja, mondar--mandir. Akhirnya aku putuskan untuk langsung ke misi utama, yaitu menyelidiki siapa wanita yang telah berani mengganggu saat ini. Apakah Tuhan telah sengaja mengirim tulang rusukku yang sekian lama terpisah tak tahu entah di mana dan baru sekarang akan dipertemukan, atau dia sengaja diutus dari negeri antah berantah yang tak jelas di mana keberadaannya hanya untuk menggangguku dan kaum adam lainnya? Ataukah dia adalah obat yang selama ini aku cari?

Usaha penyelidikkan aku mulai dari orang terdekat, yaitu satpam. Aku tanya satpam yang biasa nongkrong sedari pagi hingga malam, dari malam hingga pagi karena waktu kerjanya ditentukan oleh shift. Tapi dirinya pun tidak tahu dan baru mengetahui wanita itu beberapa minggu belakangan ini. Penyelidikan pertamaku belum menemui titik terang. Aku tanya penjaga toko kelontong sebelah kantor yang biasa aku ajak ngobrol kalau ada waktu senggang saat tak ada pekerjaan atau saat aku sengaja datang ke tokonya untuk membeli sesuatu. Dia hanya memberikan penjelasan bahwa wanita itu baru bekerja di toko obat sebelah toko klontongnya seminggu yang lalu dan dirinya pun belum mengenalnya. Penyelidikan kedua mulai ada secercah cahaya, tinggal melanjutkan penyelidikan tahap berikutnya.

Ketika aku hendak melanjutkan penyelidikan selanjutnya, langkahku terhenti di depan toko obat karena disana telah berdiri sosok yang akhir--akhir ini menggangguku. Wanita itu. Aku celingukan, tak berdaya menatap mata yang berbinar terang di hadapanku. Aku menunduk dan melangkah menjauh dari tempat itu.

Langkahku terhenti ketika suara seseorang berteriak memanggilku sebelum melanjutkan langkah memasuki ruangan kerja. Aku menoleh dan mencari tahu arah suara itu, ternyata kudapati seseorang yang berdiri di pinggir jalan dengan mengenakan pakaian serba orange. Juki namanya, tukang parkir yang biasa bertugas di sekitaran emperan toko dan kantor.

Dia selalu menyapaku setiap pagi. Dengan senyum yang khas dia menghampiriku, menepuk--nepuk pundak dan bertanya dari mana saja diriku sepagi ini karena terlihat mondar--mandir kayak orang sedang kebingungan mencari sesuatu yang hilang. Iya, sebenarnya aku telah kehilangan separuh hatiku yang tercecer di emperan toko obat. Sebab tidak seperti biasanya aku kelihatan mondar--mandir sepagi ini, kecuali kalau saat jam kerja sudah dimulai. Juki menaruh curiga kepadaku dan mulai menyelidiki tentang sesuatu yang aneh terjadi pada diriku. 

Aku hanya cengar--cengir seperti orang yang diinterograsi aparat kepolisian saat ketangkap basah sedang melanggar lampu lalu lintas. Juki meledekku, karena dia tahu betul siapa diriku dan kebiasaanku. Sebab kami telah berteman lama sejak pertama bekerja di perusahaanku saat ini. Walau intensitas pertemuan kami terjadi saat di kantor saja tapi ikatan emosional kami sudah terjalin erat seperti saudara sendiri. Seperti biasa setiap kali diriku terpojok dengan olok--olokannya, aku selalu menyerah. Dan memulai membuka percakapan tentang wanita itu.

Pertama mendengar itu Juki hanya tersenyum sambil menggangguk--angguk dan tak berselang lama suara tawanya menggelegar memenuhi emperan toko. Aku berusaha secepatnya untuk membungkam mulutnya sebelum nada suara yang tak beraturan itu merusak telinga orang yang mendengarnya. Tapi hal itu terlambat aku lakukan, karena suara itu sudah terlontar cepat sebelum sempat membungkamnya. Orang--orang di sekitar kantor pada keluar ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dan kami pun hanya cengar--cengir menahan malu. Akhirnya orang--orang itu kembali lagi melakukan aktivitas yang sempat tertunda setelah mengetahui bahwa sesuatu itu hanya candaan yang konyol dari ulah temanku.

Setelah situasi aman, aku langsung memaksa Juki untuk mengatakan kenapa dirinya sampai berbuat konyol seperti itu. Karena terpojok oleh pertanyaanku yang tak berhenti melesat bagai anak panah menuju sasaran, akhirnya Juki pun angkat bicara.

"Namanya Ana," kata Juki sambil menahan tawa.

Tapi diriku masih belum begitu yakin dengan ucapan Juki barusan, karena kata yang terlontar dari mulutnya seperti tidak serius. Aku pun terus menekannya untuk mengatakan yang sebenarnya, berulangkali dirinya tetap saja menyebutkan nama yang sama, dengan mimik yang sama pula. Tanpa basa basi Juki meninggalkan diriku, aku pun dibuat heran oleh tingkahnya itu, karena belum pernah dirinya berbuat seperti itu. Dan seketika tubuhnya menghilang di antara toko kelontong dan toko obat. Belum keherananku hilang, seketika Juki muncul dengan seorang wanita dan menghampiriku.

Ternyata wanita itu adalah wanita yang selama ini memenuhi angkasa lamunanku, wanita yang telah menyelinap di ruang hatiku, wanita yang selalu berada di emperan toko obat ketika menunggu pintu toko dibuka, wanita dengan tatapan mata yang menikam hati hingga membuatku tak berdaya dibuatnya, wanita yang telah menggugah selera cintaku setelah lima tahun lamanya terkubur bersama kenangan pahit. Juki langsung memperkenalkannya kepadaku. Aku hanya celingukan menahan malu dan ragu untuk menyambut tangannya yang terlihat lembut, karena tanpa aku sadari tangannya telah tersodor dihadapanku.

"Ana,"  kata itu terucap dari bibir mungilnya yang merona.

"Arul," balasku tersipu malu karena tak mampu menahan tatapan matanya yang begitu tajam dan bercahaya.

Setelah perkenalan itu kami pun sering bertegur sapa dan kadang aku juga sering sms atau telepon hanya sekedar ingin mendengarkan suaranya. Hari--hariku semakin dipenuhi dengan senyum dan wajahnya. Kadang kukirim puisi melalui sms untuknya, sekadar mengungkapkan perasaan secara tidak langsung. Tapi aku tak tahu apakah setiap puisi yang kukirim akan membuat senang atau malah membuat risih. 

Aku tetap tak peduli dengan semua itu, karena dalam otakku sekarang ini yang ada hanya dirinya. Tapi sebenarnya aku berharap dia selalu membalas setiap puisi yang kukirim, agar setidaknya aku bisa mengetahui perasaannya. Tidak hanya puisi yang sebenarnya ingin dibalas, tapi membalas perasaanku yang saat ini sedang menggelora.

Aku masih mencari tahu tentang dirinya. Apakah dirinya masih sendiri atau sudah punya pacar? Bagaimana tipe lelaki yang pantas untuknya? Dan lain sebagainya. Meski sudah beberapa kali berkomunikasi, aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa ini secara langsung.

Sepertinya aku dibuat penasaran. Aku berharap semua rasa ini tidak pernah salah. Agar aku bisa benar-benar membangun rumah cinta. Beratapkan kemesraan dan berdindingkan kebahagiaan. Merawat, menyiram dan memupuknya dengan kasih sayang. Sehingga tidak ada lagi yang mampu untuk merobohkannya.

Pagi sangatlah cerah. Aku begitu bersemangat untuk menjalani aktivitas. Aku lihat sepucuk undangan tergeletak di atas meja pantri. Sepertinya ada karyawan kantor yang akan melangsungkan hajatan, karena dari beberapa karyawan ada yang statusnya masih sendiri, kemungkinan ada yang mau melangsungkan pernikahan. Atau mungkin ada karyawan yang ingin mengkhitankan anaknya. Langsung aku ambil undangan itu dan membacanya: "Ana dan Dika akan melangsungkan pernikahan pada tanggal 03 Juli 2008 di Gedung Depati Barin." Seketika itu pagi berubah menjadi hitam dan gelap.

Pangkalpinang, Juli 2008   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun