Pertama mendengar itu Juki hanya tersenyum sambil menggangguk--angguk dan tak berselang lama suara tawanya menggelegar memenuhi emperan toko. Aku berusaha secepatnya untuk membungkam mulutnya sebelum nada suara yang tak beraturan itu merusak telinga orang yang mendengarnya. Tapi hal itu terlambat aku lakukan, karena suara itu sudah terlontar cepat sebelum sempat membungkamnya. Orang--orang di sekitar kantor pada keluar ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dan kami pun hanya cengar--cengir menahan malu. Akhirnya orang--orang itu kembali lagi melakukan aktivitas yang sempat tertunda setelah mengetahui bahwa sesuatu itu hanya candaan yang konyol dari ulah temanku.
Setelah situasi aman, aku langsung memaksa Juki untuk mengatakan kenapa dirinya sampai berbuat konyol seperti itu. Karena terpojok oleh pertanyaanku yang tak berhenti melesat bagai anak panah menuju sasaran, akhirnya Juki pun angkat bicara.
"Namanya Ana," kata Juki sambil menahan tawa.
Tapi diriku masih belum begitu yakin dengan ucapan Juki barusan, karena kata yang terlontar dari mulutnya seperti tidak serius. Aku pun terus menekannya untuk mengatakan yang sebenarnya, berulangkali dirinya tetap saja menyebutkan nama yang sama, dengan mimik yang sama pula. Tanpa basa basi Juki meninggalkan diriku, aku pun dibuat heran oleh tingkahnya itu, karena belum pernah dirinya berbuat seperti itu. Dan seketika tubuhnya menghilang di antara toko kelontong dan toko obat. Belum keherananku hilang, seketika Juki muncul dengan seorang wanita dan menghampiriku.
Ternyata wanita itu adalah wanita yang selama ini memenuhi angkasa lamunanku, wanita yang telah menyelinap di ruang hatiku, wanita yang selalu berada di emperan toko obat ketika menunggu pintu toko dibuka, wanita dengan tatapan mata yang menikam hati hingga membuatku tak berdaya dibuatnya, wanita yang telah menggugah selera cintaku setelah lima tahun lamanya terkubur bersama kenangan pahit. Juki langsung memperkenalkannya kepadaku. Aku hanya celingukan menahan malu dan ragu untuk menyambut tangannya yang terlihat lembut, karena tanpa aku sadari tangannya telah tersodor dihadapanku.
"Ana," Â kata itu terucap dari bibir mungilnya yang merona.
"Arul," balasku tersipu malu karena tak mampu menahan tatapan matanya yang begitu tajam dan bercahaya.
Setelah perkenalan itu kami pun sering bertegur sapa dan kadang aku juga sering sms atau telepon hanya sekedar ingin mendengarkan suaranya. Hari--hariku semakin dipenuhi dengan senyum dan wajahnya. Kadang kukirim puisi melalui sms untuknya, sekadar mengungkapkan perasaan secara tidak langsung. Tapi aku tak tahu apakah setiap puisi yang kukirim akan membuat senang atau malah membuat risih.Â
Aku tetap tak peduli dengan semua itu, karena dalam otakku sekarang ini yang ada hanya dirinya. Tapi sebenarnya aku berharap dia selalu membalas setiap puisi yang kukirim, agar setidaknya aku bisa mengetahui perasaannya. Tidak hanya puisi yang sebenarnya ingin dibalas, tapi membalas perasaanku yang saat ini sedang menggelora.
Aku masih mencari tahu tentang dirinya. Apakah dirinya masih sendiri atau sudah punya pacar? Bagaimana tipe lelaki yang pantas untuknya? Dan lain sebagainya. Meski sudah beberapa kali berkomunikasi, aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa ini secara langsung.
Sepertinya aku dibuat penasaran. Aku berharap semua rasa ini tidak pernah salah. Agar aku bisa benar-benar membangun rumah cinta. Beratapkan kemesraan dan berdindingkan kebahagiaan. Merawat, menyiram dan memupuknya dengan kasih sayang. Sehingga tidak ada lagi yang mampu untuk merobohkannya.