Kenapa diriku merasa seperti dipecundangi, ataukah diriku memang pantas untuk dipencundangi atau memang diriku seorang pecundang? Entahlah. Tapi sungguh aku merasakan sakit yang tak terperi. Â Sungguh kematian cinta yang tak pernah kuinginkan.
Aku biarkan semua mengalir menganak sungai melintasi muara bahkan ke lautan lepas sekalipun. Aku biarkan terbang melintasi samudera dan pegunungan yang luas. Aku biarkan sayapnya berhenti ketika lelah, karena tak satupun yang mampu menjadi rumah bagi hati. Mungkin akan kubiarkan menjadi perjaka tua karena telah menyerah tak pernah menemukan cinta sejati. Ataukah sebenarnya diriku takut untuk menerima rasa itu lagi? Padahal selama ini diriku selalu berada di antara bunga-bunga yang bermekaran bak jamur yang tumbuh di musim penghujan. Tapi tak satupun sosoknya mampu menggetarkan hati.
Hari itu seharian di kantor aku tidak merasa nyaman. Selalu terbayang dirinya. Hampir pekerjaan yang aku kerjakan berantakkan karena konsentrasi buyar. Untung semuanya bisa aku atasi dengan segera sebelum semua menjadi tambah runyam.
Malam harinya tidurku pun tak nyenyak. Tatapan mata dan senyumannya tidak mau keluar dari kamarku. Dirinya telah merusak selera tidurku. Lebai! Tapi itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Aku habiskan malam di depan komputer untuk bercerita tentang perasaan yang saat ini kurasakan. Karena dirinya telah memporakporandakan hati.
Esok harinya aku kembali melakukan aktivitas rutin, walau mata merasakan kantuk yang sungguh luar biasa karena semalaman tidak bisa tidur. Hanya memikirkan dirinya: wanita yang tak pernah kuharapkan kehadirannya.
Tidak seperti biasanya aku berada di luar ruangan kerja, mondar--mandir. Akhirnya aku putuskan untuk langsung ke misi utama, yaitu menyelidiki siapa wanita yang telah berani mengganggu saat ini. Apakah Tuhan telah sengaja mengirim tulang rusukku yang sekian lama terpisah tak tahu entah di mana dan baru sekarang akan dipertemukan, atau dia sengaja diutus dari negeri antah berantah yang tak jelas di mana keberadaannya hanya untuk menggangguku dan kaum adam lainnya? Ataukah dia adalah obat yang selama ini aku cari?
Usaha penyelidikkan aku mulai dari orang terdekat, yaitu satpam. Aku tanya satpam yang biasa nongkrong sedari pagi hingga malam, dari malam hingga pagi karena waktu kerjanya ditentukan oleh shift. Tapi dirinya pun tidak tahu dan baru mengetahui wanita itu beberapa minggu belakangan ini. Penyelidikan pertamaku belum menemui titik terang. Aku tanya penjaga toko kelontong sebelah kantor yang biasa aku ajak ngobrol kalau ada waktu senggang saat tak ada pekerjaan atau saat aku sengaja datang ke tokonya untuk membeli sesuatu. Dia hanya memberikan penjelasan bahwa wanita itu baru bekerja di toko obat sebelah toko klontongnya seminggu yang lalu dan dirinya pun belum mengenalnya. Penyelidikan kedua mulai ada secercah cahaya, tinggal melanjutkan penyelidikan tahap berikutnya.
Ketika aku hendak melanjutkan penyelidikan selanjutnya, langkahku terhenti di depan toko obat karena disana telah berdiri sosok yang akhir--akhir ini menggangguku. Wanita itu. Aku celingukan, tak berdaya menatap mata yang berbinar terang di hadapanku. Aku menunduk dan melangkah menjauh dari tempat itu.
Langkahku terhenti ketika suara seseorang berteriak memanggilku sebelum melanjutkan langkah memasuki ruangan kerja. Aku menoleh dan mencari tahu arah suara itu, ternyata kudapati seseorang yang berdiri di pinggir jalan dengan mengenakan pakaian serba orange. Juki namanya, tukang parkir yang biasa bertugas di sekitaran emperan toko dan kantor.
Dia selalu menyapaku setiap pagi. Dengan senyum yang khas dia menghampiriku, menepuk--nepuk pundak dan bertanya dari mana saja diriku sepagi ini karena terlihat mondar--mandir kayak orang sedang kebingungan mencari sesuatu yang hilang. Iya, sebenarnya aku telah kehilangan separuh hatiku yang tercecer di emperan toko obat. Sebab tidak seperti biasanya aku kelihatan mondar--mandir sepagi ini, kecuali kalau saat jam kerja sudah dimulai. Juki menaruh curiga kepadaku dan mulai menyelidiki tentang sesuatu yang aneh terjadi pada diriku.Â
Aku hanya cengar--cengir seperti orang yang diinterograsi aparat kepolisian saat ketangkap basah sedang melanggar lampu lalu lintas. Juki meledekku, karena dia tahu betul siapa diriku dan kebiasaanku. Sebab kami telah berteman lama sejak pertama bekerja di perusahaanku saat ini. Walau intensitas pertemuan kami terjadi saat di kantor saja tapi ikatan emosional kami sudah terjalin erat seperti saudara sendiri. Seperti biasa setiap kali diriku terpojok dengan olok--olokannya, aku selalu menyerah. Dan memulai membuka percakapan tentang wanita itu.