Mohon tunggu...
HERI HALILING
HERI HALILING Mohon Tunggu... Guru - Guru

Heri Haliling nama pena dari Heri Surahman. Kunjungi link karyanya di GWP https://gwp.id/story/139921/perempuan-penjemput-subuh https://gwp.id/story/139925/rumah-remah-remang https://gwp.id/story/139926/sekuntum-mawar-dengan-tangkai-yang-patah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pion Langit

11 Agustus 2024   21:29 Diperbarui: 11 Agustus 2024   21:30 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama Pena: Heri Haliling

Nama Asli: Heri Surahman

Pion Langit

Kenangan muncul bagai angin menyembur dari balik celah dinding. Bidin adalah salah satu atlet catur di Banjarmasin. Umurnya kini 45 tahunan. Telah berapa kali ia keluar provinsi. Walau ia tak pernah meraih juara 1 saat mewakilkan Kal-Sel, tapi diakui oleh gubernur saat itu bahwa Bidin adalah seorang master karena selalu menduduki peringkat 2 atau 3.

Ia bangga jika mengingat pujian itu.

Namun catur perlahan mulai tidak menonjol. Bidin jarang dipanggil untuk mewakili provinsi. Pada masa itu, peraturan-peraturan yang dirasa penting demi mewujudkan Banjarmasin maju sedang menjadi tonjolan program. 

Bidin tentu tidak tinggal diam dengan keadaan itu. Bidin tahu kewajibannya. Ia sering berpindah-pindah kerja untuk menafkahi sang isteri. Hingga kini pada profesinya terakhir sebagi penjual problem catur 3 langkah Mat. Tapi dari kacamata isterinya sendiri, penghasilan yang diperoleh Bidin masih sangat kurang. Masalah semakin kompleks dengan sekian tahun menikah namun jua Bidin belum dikaruniai momongan. Puncak masalahnya ialah ketika sang isteri menerima warta bahwa Bidin mengidap hernia.

Bidin menggigit bibirnya. Menyeringai layaknya orang hendak berteriak. Tangan kanannya mengepal dan segera meluncur menghentak kasur. Hernia telah merenggut tubuhnya. Lebih sebal lagi, Bidin menyadari bahwa hernia itu merampas pernikahannya.

*

Malam ini di Taman Seroja Bidin menggelar lapak untuk dagangannya pada sebuah tempat yang agak jauh dari tepian Sungai Martapura Ia susun biji biji catur sesuai notasi. Hadiah 3 bungkus rokok ia keluarkan. Permainan tebak catur 3 langkah mati siap, gumamnya bangga. Belum lama ia menggelar karpet, ternyata salah seorang pedagang bakso di sebelahnya menegur.

“Amang catur! Di situ sudah ada orangnya?” katanya sambil melotot.

Bidin terkejut. Mengapa harus melotot pikirnya. Pedagang bakso itu bernama Junay. Dia kemarin yang sok mewakili pedagang. Dia berjualan belum lama. Jauh Lebih senior Bidin. Badannya hitam, bertato dan wajahnya garang.

“Junay, aku jualan juga tahu situasinya. Kau lihat sendiri bukan? Ini sudah jam setengah 5. Yang tempatnya aku pakai ini, tentu orangnya tidak datang. Jadi biarlah aku yang tempati”

 “Sudahlah Junay” tegur pedagang lain. “Biarkan beliau berjualan di situ. Beliau lebih senior dari kita. Paman Bidin telah berjualan di Pasar Tungging sejak baru diresmikan. Jauh sebelum kita.”

“Hei kau diam aja” pelotot Junay. “Pokoknya kita harus ikut aturan. Repot aku nanti jika ketahuan Parawisata”

 “Hei Paman!?” kata isteri Junay. “Kami berjualan banyak, juga sesuai dengan sewa yang kami bayar!”

“Sudahlah Mang!? Mundur saja. Kau yang seusia ini tak mungkin paham walau ku jelaskan. Cari tempat lain. Jangan di sekitar sini?” Junay mencoba mengusir.

“Kurang sopan kau Junay. Rezeki bukan kau yang atur.”

Junay berkacak pinggang. Pedagang di sekitar hanya diam. Mereka pun kasihan melihat Bidin. Tapi juga mereka tahu siapa Junay. Rumahnya dekat dengan Taman Seroja. Junay juga banyak akrab dengan kelompok parkir taman yang diketahui juga merangkap sebagai preman. Bagi Bidin yang kalah segalanya. Tentu ia pun merelakan sore itu. Bidin pulang setelah sebelumnya berusaha mencari tempat namun telah penuh sesak oleh pedagang lainnya.

*

Bidin mengulum lelah di teras rumahnya. Ia tak habis pikir sore itu. Sedemikian jadi rakusnya hingga tak peduli bahwa sesama pedagang seharusnya ada solidaritas. Menurut beberapa sumber dari pedagang lainnya. Banyak juga pedagang yang kesal dengan ulah Junay. Dia itu pedagang dan tidak seharusnya berlagak demikian. Isu merebak yang sampai di telinga Bidin adalah bahwa ia sudah ada kerjasama dengan dinas untuk menertibkan pedagang. Bidin menggeleng heran. Bagaimana ia mau dijunjung ketika perangainya sendiri kurang patut untuk ditiru. Wataknya yang emosional dan caranya berdagang yang seolah sebagai penguasa itu tentu berdampak buruk pada suatu hari nanti. Bidin memikir. Junay berdagang bersama keluarga dan lapaknya lebih dari satu, apa itu yang namanya tertib. 

Di saat Bidin melamun dengan apa yang ia alami sore ini, tiba-tiba sebuah motor merk Supra berhenti. Seorang lelaki turun dari sana. Ia kenal lelaki itu. Wajahnya kusut bernuansa muram. Lelaki itu bernam Basran. Ia adalah suami Rini, adiknya.

“Pulang kau?” tegur Bidin.

Basran tak menjawab. Ia terus berjalan masuk.

Di dalam terdengar beberapa percakapan. Bidin masih waras telinganya. Di teras itu ia menyimak.

“Gimana Kak?” suara Rini.

“Gimana apanya? Kau selalu mendesakku dengan hal itu. Ini aku baru pulang. Buatkan kopi saja dulu.”

“Iya sebentar?”

Sesaat kemudian Rini telah kembali dengan secangkir kopi.

“Ya wajar bukan jika aku bertanya begitu. Kasian Kak anakmu yang kecil-kecil ini.”

“Aku sudah coba Rin!” suara Basran meninggi. “Kau nggak ngerasa sih sulitnya cari kerja yang pas di Banjarmasin.”

“Sekarang bukan perkara pas atau tidak Kak. Tapi yang terpenting jalani dulu.”

“Maksud kau, aku ini pilih-pilih!”

Sejurus kemudian…

Plakkkk!!!!

Terdengar keras sebuah tamparan yang sebelumnya didahului oleh bunyi gelas pecah.

Bidin kaget bukan main. Ia berdiri. Dengan masih lelah dan berjalan kurang tegak ia menghampiri asal suara itu. Di ruang tengah yang terbatas ukurannya itu, Bidin melihat Rini tersungkur menangis sembari merangkul ketiga anaknya. Pipinya merah, bahkan ada darah di sudut bibirnya. 

“Kau selalu saja membantahku. Isteri sialan! Nggak tahu diuntung!” teriak Basran sembari kacak pinggang.

“Cukup Basran! Cukup!” Bidin menengahi.

“Sudah kelewatan perangaimu! Kau kira aku tak tahu. Aku percaya kau adalah kepala rumah tangga yang baik. Mampu ayomi adikku. Tapi…” Bidin menunjuk wajah Basran yang nyalang. “Perangaimu itu masih jua tak ubah. Apa yang kau buat di Kampung Pisang tempo kemarin. Apa Hah! Apa! Kau untal jennet lagi bukan!! Itu kan kerjaanmu.. sudah kawin kau masih dungu seperti dulu! Ingat anak-anakmu itu perlu makan!”

“Nggak usah ngajari aku!” balik membentak. “Kau sebagai abang sama sekali juga tak paham. Sudah hancur kau punya bini masih tak punya malu kau numpang adikmu! Cihh…Keparat!! ini keluargaku. Sebebas aku mendidiknya. Kau nggak usah ikut campur. Urus dirimu! Bekerja haram saja kau banggakan!”

“Ditata kau punya mulut!”

Rini teriak minta berhenti sambil menangis sejadi-jadinya. Bidin berkelahi dengan Basran. Mereka saling pukul, saling tendang. Namun karena beda fisik. Bidin akhirnya tersungkur. Ia meringis menahan sesak bagian perut sebelah kanan karena kena tendangan.

“Biar ku buat mati kau.!!” teriak Basran sembari lari kedapur. Di dapur bunyi berhamburan terdengar. Tampaknya Basran sedang mencari sesuatu.

Rini bangkit dan memburunya. Sambil menangis terisak-isak ia memohon kepada suaminya untuk menyudahi pertengkarannya. Kasihan anak-anak yang ketakutan, seru Rini.

Basran tak menggubrisnya. Ia keluar dari dapur. Tangan kananya menghunuskan parang Lais khas daerah Kandangan. Parang yang biasanya digunakan untuk memotong kayu. Rini merenggut kaki suaminya. Menangis menggelijang. Terseret-seret.

“Sini…!!! Biar ku belah kau punya wajah. Dasar Sial!! Orang tua tak tahu diri! Ikut campur!! Setan, mati saja kau ini!!”

Basran terus mendekat namun secepat kilat tetangga yang mendengar keributan itu segera masuk kedalam. Para pria segera menangkap Basran. Menenangkannya. Sementara tetangga perempuan mendekap Rini dan ketiga putrinya yang shok karena keributan itu. 

Bidin sendiri dilindungi salah seorang tetangga. Dengan masih memegang bagian perutnya yang sesak, ia mencoba bangkit.

Basran berkoar-koar seperti seorang kesurupan.

“Sial!!! Pergi kau!! Awas kau kesini lagi!!! Dasar setan!!!”

Pada sebuah gang kumuh itu akhirnya malam kian mengeruh.

*

Seminggu berlalu, sambil menguap Bidin melangkahkan kakinya menuju keramaian untuk mencari ruang kosong di Taman Seroja. Belakangan tidurnya tak enak karena harus pindah dari satu masjid ke masjid lainnya.

“Di sana itu masih lajur dagangankui bangke!” teriak seorang pria yang suaranya Bidin kenal.

“Kita sama-sama cari rezeki Mang?”

“Tapi jangan jualan di sana. Nyolot nih!”

Bidin mencari arah suara. Benar tebakannya. Junay kembali berulah. Kali ini dengan pedagang jam tangan.

“Wah. Bener-bener! Kau itu nggak bayar sewa. Tahu diri. Minggir dan cari lahan di lainnya saja!”

Mendengar ke aroganan Junai, sebal menyesak dada Bidin Kini turun naik napasnya. Tubuhnya yang sakit dan kurus tiba-tiba tegap. Tangannya mengepal lalu menyeberang menuju arah Junay. 

 “Kau bedebah! Kau makani binimu dengan sampah!” koar Bidin.

Junay melotot lalu merosot dan segera cepat menyerang Bidin. Benar saja, suasana tegang sekarang. Pengunjung mulai menjarak lalu menjauh. Pedagang yang pro dengan Bidin terpancing melawan dan terjadilah saling serang dengan Junay. Junay sendiri tidak banyak pedagang yang sependapat dengan dia. Namun, barisan penjaga parkir langsung turun. Merekalah yang pro dengan Junay. 

Malam kian pecah beraroma angkara. Anarkis dan brutal terjadi di antara pedagang. Junay bergerak gesit sambil melayangkan tinjunya ke Bidin. Tubuh Bidin yang kurus mencoba menghindar. Aneh, emosi yang kuat membutakan rasa sakit itu. Kini Bidin bagai seorang kesurupan yang tiada merasa kelemahan.

Bukk!!! Sebuah tendangan tepat mengenai dada Junay. Bidin yang beringas kini terus menyerang. Suasana yang kalut kian mencekam. Beberapa pedagang dan kelompok parkir bahkan telah terlihat menghunuskan senjata tajam. Banyak pisau menari-nari di langit. Siap menjilat anyirnya darah. 

Junay pun demikian. Ia melangkah mundur sejenak. Dari tas dekat tempatnya ia berdagang. Ia cengkram sebilah belati. Bidin mulai mengatur langkah kini. Secepat Junay mencabut, secepat pula ia menyerbu Bidin. Bidin mundur menguasai jarak. Beberapa hunusan ia lewati. Namun, seseorang dari belakang tiba-tiba menendang salah satu kaki Bidin yang rapuh. Bidin hilang keseimbangan. Ia jatuh tersungkur. Matanya mengamati siapa yang menculasinya. Seorang pria . Wajahnya setengah tertutup bahu-bahu pedagang dan kelompok parkir yang masih ricuh. Tapi Bidin mampu menebaknya. Pria itu kemudian tersenyum dingin, sambil mundur. 

Basran kurang ajar, batin Bidin.

 Bidin bangkit hendak mengejar Basran tapi Junay yang terus mengamuk datang bagai peluru.

Malam mengelam. Rembulan padam, cahayanya diarsir mendung kelabu. Rintik belum reda bahkan bertambah lebat. Pedagang dan kelompok parkir sejenak terdiam tiba-tiba. Junay megap-megap rebah di pagar Taman Seroja. Di dekatnya, ransel Bidin tergelatak tak terurus. Akibat perkelahian masal itu, berhamburanlah semua biji-biji catur yang ada dalam tas Bidin. Biji-biji itu berserakan di sana-sini. Di salah satu tempat dekat Junay yang kelelahan, beberapa biji catur yang semula berwarna putih tampak berganti dengan warna merah. 

*

Sehari setelah kejadian itu, Rini menggeleng-geleng sambil memencet hidungnya yang sesak di dalam kamar almarhum kakaknya. Sketsa kenangan bersama sang kakak selalu muncul. Rini menggigil tiba-tiba. Bibirnya ia gigit sendiri. Di sampingnya Basran memegang erat bahu istrinya dan berkata “Junay pembunuh itu sudah dihukum setimpal. Tenanglah.”

Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun