Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kebijakan Timpang di Pulau Rempang

12 Oktober 2023   00:57 Diperbarui: 12 Oktober 2023   01:02 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: youtube.com/eputar kita TBA

Tak terasa, sudah lebih dari satu bulan lamanya penduduk Rempang berduka. Bagaimana tidak, demi ambisi investasi penguasa berujung relokasi warganya. Setuju atau tidak setuju, mau tidak mau, mereka harus bersedia direlokasi pindah dari tanah Rempang yang sudah turun temurun mereka tempati. Ada 16 kampung adat yang terancam direlokasi yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Berdasarkan temuan Ombudsman di Pulau Rempang, menemukan sejumlah unsur penetapan kampung tua, yakni patok perkampungan tua, makam-makam tua, pohon-pohon budidaya lama berusia ratusan tahun, serta dokumen lama yang menandakan masyarakat telah lama bermukim di Rempang, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka yakni semenjak 1843.

Bentrok masa dengan aparat pun tak terelakkan terjadi di kota Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada Kamis, 7 September lalu. Aparat keamanan memaksa masuk ke kampung adat untuk melakukan pemasangan patok batas. Saat aparat mulai masuk terjadi lemparan batu dari arah warga yang kemudian disambut semprotan gas air mata yang ditembakkan oleh aparat. Gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah hingga belasan siswa harus dilarikan ke rumah sakit.

Konflik ini bermula saat akhir Agustus lalu, pemerintah menetapkan proyek pembangunan Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang ditandatangani pada tanggal 28 Agustus 2023. 

Proyek ini menjadikan seluruh wilayah pulau Rempang dan sebagian pulau Galang dan Subang Mas, rencananya akan dibangun berbagai macam industri, pariwisata hingga perumahan di bawah pengembang PT. Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak perusahaan PT. Artha Graha milik Tomy Winata. Dia adalah salah satu konglomerat dari sembilan naga yang menguasai perekonomian di Indonesia. 

PT MEG merupakan rekan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam. Nantinya, perusahaan itu akan membantu pemerintah menarik investor asing dan lokal dalam pengembangan ekonomi di Pulau Rempang. Target investasi mencapai Rp381 triliun pada tahun 2080. Pemerintah juga menargetkan pengembangan Rempang Eco-City dapat menyerap sekitar 306 ribu tenaga kerja hingga 2080. 

Pertanyaannya kemudian, apakah dapat dipastikan bahwa nanti pada realisasinya tenaga kerja yang diserap adalah tenaga kerja lokal? Ataukah justru yang diserap adalah tenaga kerja aseng dan asing dengan alasan lebih berkualitas?. Pada akhirnya warga lokal sudahlah terusir dari tanahnya sendiri, pun mata pencaharianpun terancam hilang.

Pengembangan Pulau Rempang diawali oleh investor Cina Xinyi Internasional Investment Limited Group yang telah berinvestasi senilai Rp175 Triliun Rupiah untuk membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok industri kaca dan kaca panel surya terbesar di Asia Tenggara. Jamak diketahui, Pulau Rempang kaya akan pasir kuarsa dan pasir silika, serta sumber daya alam lainnya. 

Dengan SDA itu, Pulau Rempang terancam dieksploitasi secara besar-besaran. Karena status investor ini bukan pegawai negara yang dikontrak untuk bekerja sesuai dengan keahlian, faktanya mereka ini kedudukannya lebih kuat, lebih dominan karena mereka yang punya modal . Seolah-olah mereka juga yang punya kuasa dan berhak untuk menikmati keuntungan dalam persentase yang besar. Kekhawatiran yang terjadi adalah alih-alih negeri ini diuntungkan dengan proyek ini, yang terjadi justru potensi kerugian di kemudian hari dimana kedaulatan negeri tergadaikan.

Total tanah yang diperlukan untuk seluruh proyek pembangunan ini seluas 17 hektar. Sehingga, lebih dari 7000 warga dari 16 kampung adat  harus direlokasi.

"Dari hasil asesmen lapangan kita. Mayoritas masyarakat 16 kampung tua menolak relokasi, karena kampung sudah eksis dari 1834," ujar Khazaini, tokoh masyarakat Rempang.

Dia pun meminta Kapolri untuk membuka data terkait ganti rugi yang diklaim diberikan kepada warga. Dia juga menyebut selama ini tidak ada sosialisasi terkait hal itu. (https://www.cnnindonesia.com/8092023). Dengan bantuan aparat TNI, awalnya Pemerintah memberi tenggat waktu hingga 28 September 2023 agar pulau Rempang sudah berhasil dikosongkan (clean & clear) untuk kemudian diserahkan pada pihak pengembang. Namun karena masih banyak penolakan, alih-alih dibatalkan, yang terjadi hanya mengulur waktu.

Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Moda (BKPM) Bahlil Lahadalia mengklaim dan sebut 341 KK Warga Rempang sudah mau pindah sukarela. Terdapat lima kampung dengan 961 KK yang diprioritaskan  pemerintah untuk mendapatkan pergeseran ke Tanjung Banun. Diantaranya dalah : Pasir Panjang, Kampung Blongkeng, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung dan Pasir Merah. Menurut Bahlil, 70% masyarakat dari Pasir Panjang telah setuju untuk dilakukan pergeseran. (https://finance.detik.com/07102023)

Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan bahwa warga yang terkena imbas pembangunan akan direlokasi ke wilayah dapur 3 Cijantung di lahan seluas 450 hektar dan dijanjikan akan mendapatkan rumah tipe 45 senilai 120 juta. Apakah cukup dengan uang Rp1,2 juta yang dijanjikan diberikan tiap bulannya untuk sewa dan kebutuhan sehari-hari? Ditambah lagi warga harus kehilangan mata pencaharian dan lainnya.


Tak Masalah Konflik Agraria asalkan Investor Bahagia?

Fakta konflik lahan hampir selalu terjadi dalam pembangunan infrastruktur pemerintah. Konflik agraria ini bahkan merupakan fenomena gunung es. Relokasi sebagai solusi dari konflik agraria tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat. Sebab mereka akan kehilangan rumah, mata pencaharian dan sebagainya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari arah pembangunan negara ini yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui jalan investasi.

Bahkan undang-undang ciptaker yang telah disahkan pemerintah beberapa waktu lalu semakin memudahkan penggunaan lahan untuk proyek strategis nasional dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur. Satrio Manggala yang merupakan manajer kajian hukum dan kebijakan walhi berpendapat bahwa aturan tersebut telah memberikan keistimewaan atas nama kepentingan umum untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat. Padahal menurutnya pemerintah belum melakukan evaluasi terhadap uang ganti rugi atas tanah milik warga yang digunakan untuk kepentingan umum dalam aturan tersebut.

Pasalnya, hal tersebut membuat masyarakat kerap kali kehilangan pekerjaan dan sumber pencariannya, karena tanah yang biasa digunakan untuk menghidupi kehidupannya sudah tidak ada lagi. Parahnya lagi cara-cara yang digunakan pemerintah dalam mengambil alih lahan warga seringkali tidak manusiawi. Pemerintah terkesan hanya berfungsi sebagai regulator yang lebih berpihak kepada kepentingan korporasi bukan melayani rakyat.

"Situasi di Rempang adalah bagian dari praktik umum yang memandang penduduk lokal sebagai penghambat pembangunan. Ini adalah cara yang secara struktural penuh kekerasan dalam mengelola masyarakat," pungkas dosen studi politik dan keamanan di Murdoch University di Perth, Ian Murdoch. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20230919)

Seakan tak peduli kedaulatan warga Rempang, meski harus mengingkari komitmen menjaga kearifan lokal, bahkan meski dengan risiko besar ancaman bencana ekologi, pemerintah bersikukuh melanjutkan proyek ambisiusnya membangun REC.

 Inilah ketidakadilan penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai korban proyek oligarki sebab pembangunan yang berlangsung lebih berpihak kepada oligarki bukan melayani rakyat.

Jas Merah : Jangan Melupakan Sejarah Rempang

Sekilas bisa dikatakan, kebijakan hari ini adalah kebijakan yang   a historis, tidak mau tahu tentang bagaimana sejarah. Boleh jadi juga kebijakan hari ini adalah kebijakan yang menggambarkan betapa dominannya peran pengusaha oligarki. Kenapa? bahkan sejarah sudah menyatakan penduduk di Pulau Rempang ini adalah penduduk yang bertuah, penduduk yang punya keistimewaannya sendiri. Penduduk di sini adalah keturunan para Ksatria, prajurit Kesultanan, keturunan para pejuang.

Dalam sebuah diskusi yang di gagas oleh center strategic studies bertajuk "Investasi Asing dan Ancaman Eksistensi Melayu: Studi Kasus Pulau Rempang" (24/09). Prof Datok Abdul Malik budayawan melayu Serantau sekaligus Guru Besar FKIP-UMRAH membeberkan asal-usul masyarakat wilayah Rempang.

Menurut Pria peraih Anugerah Guru Cemerlang dari Kesultanan Perak, Malaysia ini bahwa kawasan Pulau Rempang pada masa silam juga merupakan kawasan dari Kerajaan Bintan-Temasik pada abad ke-12 yang wilayahnya mencakup seluruh Kepulauan Riau, Selatan Semenanjung Malaysia, dan Singapura serta penduduknya tersebar di sepanjang wilayah pesisir. "Ini merupakan cikal-bakal nenek moyang masayrakat melayu Rempang-Gelang," ungkapnya.

Datok Malik menceritakan bahwa pada perang melawan Portugis pada tahun 1512, 1523, 1524, dan 1526 misalnya pasukan laksamana Hang Nadim berasal dari masyarakat Rempang. Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman, Nenek moyang masyarakat Rempang merupakan merupakan bagian dari pasukan Petikaman atau prajurit terdepan dalam perang Riau pertama ( 1782-1784 ) yang dipimpin oleh Raja haji IV (Pahlawan Nasional RI, 1997) melawan Belanda dan dimenangi Kesultanan Riau Lingga, tahun 1782 sampai 1784 itu terjadi perang Riau pertama. Kemudian Datok Malik menyebut terdapat perang Riau ke-II (1784-1787) dengan Belanda yang dipimpin oleh prajurit Sultan Riayat Syah (Pahlawan nasional Gerilya Laut RI, 2017) kembali dimenangkan Kesultanan Riau Lingga. (https://edura.unj.ac.id/edura-news/?).

Bahkan, mengutip Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890) Ustaz Abdul Somad (UAS) dalam unggahan Instagramnya menyebut bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari prajurit Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Jadi sekali lagi, sangat tidak benar a historis kalau dikatakan itu adalah lahan kosong tanah tak bertuan. Maka kebijakan timpang Rempang Eco-City sungguh melukai hati rakyat Rempang, karena betapa tega pemerintah yang seharusnya menghargai jasa nenek moyang mereka yang berjasa besar pada negeri ini mengusir penjajah Belanda, justru atas nama investasi tega memaksakan relokasi.

Konsep Pembangunan dalam Islam 

 Berbeda dengan sistem Kapitalisme sekuler yang lebih berpihak pada para kapitalis (pemilik modal), maka pembangunan dalam Islam harus mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai wujud tanggung jawab negara pengurus rakyat (ro'in). Rasulullah Saw bersabda:  "Imam atau khalifah adalah roin atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)

 Berdasarkan hadis tersebut, negara dalam Islam harus hadir secara benar di tengah masyarakat yang sesuai dengan aturan Allah Swt. sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyatnya melalui penerapan syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan. Karena fungsi dari pelaksanaan hukum syariat adalah mencegah dan mengantisipasi munculnya masalah dan konflik di tengah kehidupan manusia juga menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dengan penyelesaian yang paling adil.

Pembangunan dalam Islam hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Lahan-lahan yang digunakan dalam pembangunan pun dikembalikan pada status lahan yang mengikuti konsep pengaturan tanah dalam Islam. Islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah Swt.

 Ada tiga jenis kepemilikan tanah menurut islam.  Pertama, tanah yang boleh dimiliki oleh individu yaitu tanah pertanian atau ladang perkebunan. Kedua, tanah yang merupakan kepemilikan umum yaitu tanah yang didalamnya terdapat harta milik umum seperti tanah hutan, tambang dan berbagai infrastruktur umum. Islam melarang penguasaan atau privatisasi yang diberikan kepada korporasi atas tanah milik umum sebab hal tersebut akan menghalangi akses bagi orang lain untuk memanfaatkan tanah tersebut yang memicu terjadinya konflik. Ketiga adalah tanah milik negara yakni tanah yang tidak berpemilik atau tanah yang di atasnya terdapat bangunan milik negara. Tanah ini wajib dikelola oleh negara sepenuhnya.

Kepemilikan tanah di dalam Islam harus berjalan dengan pengelolaannya. Islam menetapkan bahwa ketika ditemukan suatu tanah yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang terhadapnya, maka siapapun boleh memiliki tanah tersebut selama dia mau mengelolanya. Sebaliknya, ketika suatu tanah yang sah dimiliki seseorang namun sudah ditelantarkan hingga 3 tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut otomatis akan hilang dan menjadi milik negara. Pengaturan seperti ini akan menjaga kepemilikan seseorang atas tanah sekalipun tidak memiliki surat-surat tanah sebab kepemilikan itu sudah ditunjukkan dengan pengelolaan atas tanah tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berikut:

"Siapa saja yang dulu sampai pada sebidang tanah, sementara belum ada seorang pun yang mendahuluinya maka tanah itu miliknya." (HR.Ath-Thabrani)

Namun, jika ditemukan tanah milik seseorang yang tidak digarap selama tiga tahun berturut-turut maka tanah tersebut akan hilang status kepemilikannya dan menjadi milik negara. Bahkan bagi yang merampas hak tersebut, akan mendapatkan ancaman yang sangat keras dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda:

"Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim maka Allah akan mengalungkannya tujuh lapis bumi." (HR. Muslim)

Adapun jika negara ingin melakukan pembangunan di atas tanah milik warga maka negara harus mendapat izin dari warga yang bersangkutan. Jika warga menolak, negara tidak boleh memaksakan. Inilah pengelolaan tanah dan pembangunan dalam islam yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Berkaca pada Keadilan Pemimpin Islam

Entah pada siapa lagi warga Rempang harus mengadu agar mendapat keadilan. Seolah tak ada pilihan lain bagi mereka untuk taat saja pada kehendak penguasa jika ingin selamat. Melansir CNBCIndonesia (13/9), Presiden menganggap kekisruhan di Pulau Rempang sebenarnya hanya masalah komunikasi, bisa diselesaikan di tempat, tanpa harus menunggu presiden. "Masa urusan gitu sampe Presiden," ungkapnya. Hal ini diungkapkan dalam acara Infrastructure Forum di The Kasablanka Hall, Kota Kasablanka(https://www.cnbcindonesia.com/news/20230913)

Sungguh sikap yang bertolak belakang dengan Khalifah Umar bin Khattab. Dikutip dari Republika.co, dalam sebuah kisah, Gubernur Mesir, Amru bin Ash bermaksud melebarkan bangunan masjid. Namun, lahan yang akan dijadikan sebagai bangunan masjid itu, terdapat lahan dan bangunan milik seorang Yahudi. Amru bin Ash berusaha membujuknya agar menjual tanah tersebut demi memudahkan pembangunan masjid. Namun, orang Yahudi itu bersikukuh menolak, sekalipun diganti dengan harga 15 kali lebih tinggi, hingga Amru bin Ash mengambil tindakan relokasi paksa.

Orang Yahudi yang bersedih itu kemudian mendatangi Khalifah Umar bin Khattab di Madinah dan mengadukan perbuatan Gubernur Mesir Amru bin Ash kepada Amirul Mukminin. Umar bin Khattab lalu memerintahkan si Yahudi mengambil sebuah tulang. Kemudian, Umar mengambil pedangnya dan membuat garis lurus di atas tulang tersebut. Setelah itu, Umar memerintahkan si Yahudi menyerahkan tulang itu kepada Amru bin Ash di Mesir.

Menerima tulang tersebut, Amru bin Ash bergetar ketakutan, lalu memerintahkan untuk menghentikan pembangunan masjid. Saat ditanya oleh si Yahudi yang heran melihat sikapnya, Amru bin Ash menerangkan makna di balik tulang dan garis lurus tersebut.

"Wahai kakek, tulang ini memang busuk. Tapi lihatlah intinya, bahwa sesungguhnya, setinggi apa pun kekuasaan seseorang, dan sehebat apa pun dirinya, suatu saat pasti akan mati dan menjadi tulang seperti ini. Selain itu, garis lurus yang dilukiskan oleh Khalifah Umar ini memiliki makna yang tegas. Intinya, sebagai seorang pemimpin, saya harus berlaku lurus dan adil serta tidak semena-mena pada kelompok lain. Jika saya melanggar dan tidak lurus, maka Umar yang akan meluruskannya dengan pedangnya," jelas Amru bin Ash.

Pemimpin adil, melindungi dan melayani rakyat sebagaimana dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab inilah yang dirindukan umat. Bukan hanya warga Rempang, tapi seluruh umat di dunia. Pemimpin yang demikian hanya terwujud bila dalam dirinya tertanam ketakwaan dan rasa takut akan pertanggungjawabannya di hadapan Sang Pemilik langit dan bumi. Pemimpin yang demikian hanya terwujud bila sistem yang diterapkan adalah sistem Islam. Masalah agraria di tanah Rempang hanya salahsatu potret ketidakadilan yang terpampang. Dari paparan di atas, jelaslah bahwa hanya penerapan islam lah yang memiliki konsep solusi terang benderang.  Mencegah berbagai ketimpangan kebijakan dan mewujudkan keadilan. InsyaAllah. Wallahu a'lam bish showab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun