"Dari hasil asesmen lapangan kita. Mayoritas masyarakat 16 kampung tua menolak relokasi, karena kampung sudah eksis dari 1834," ujar Khazaini, tokoh masyarakat Rempang.
Dia pun meminta Kapolri untuk membuka data terkait ganti rugi yang diklaim diberikan kepada warga. Dia juga menyebut selama ini tidak ada sosialisasi terkait hal itu. (https://www.cnnindonesia.com/8092023). Dengan bantuan aparat TNI, awalnya Pemerintah memberi tenggat waktu hingga 28 September 2023 agar pulau Rempang sudah berhasil dikosongkan (clean & clear) untuk kemudian diserahkan pada pihak pengembang. Namun karena masih banyak penolakan, alih-alih dibatalkan, yang terjadi hanya mengulur waktu.
Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Moda (BKPM) Bahlil Lahadalia mengklaim dan sebut 341 KK Warga Rempang sudah mau pindah sukarela. Terdapat lima kampung dengan 961 KK yang diprioritaskan  pemerintah untuk mendapatkan pergeseran ke Tanjung Banun. Diantaranya dalah : Pasir Panjang, Kampung Blongkeng, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung dan Pasir Merah. Menurut Bahlil, 70% masyarakat dari Pasir Panjang telah setuju untuk dilakukan pergeseran. (https://finance.detik.com/07102023)
Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan bahwa warga yang terkena imbas pembangunan akan direlokasi ke wilayah dapur 3 Cijantung di lahan seluas 450 hektar dan dijanjikan akan mendapatkan rumah tipe 45 senilai 120 juta. Apakah cukup dengan uang Rp1,2 juta yang dijanjikan diberikan tiap bulannya untuk sewa dan kebutuhan sehari-hari? Ditambah lagi warga harus kehilangan mata pencaharian dan lainnya.
Tak Masalah Konflik Agraria asalkan Investor Bahagia?
Fakta konflik lahan hampir selalu terjadi dalam pembangunan infrastruktur pemerintah. Konflik agraria ini bahkan merupakan fenomena gunung es. Relokasi sebagai solusi dari konflik agraria tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat. Sebab mereka akan kehilangan rumah, mata pencaharian dan sebagainya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari arah pembangunan negara ini yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui jalan investasi.
Bahkan undang-undang ciptaker yang telah disahkan pemerintah beberapa waktu lalu semakin memudahkan penggunaan lahan untuk proyek strategis nasional dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur. Satrio Manggala yang merupakan manajer kajian hukum dan kebijakan walhi berpendapat bahwa aturan tersebut telah memberikan keistimewaan atas nama kepentingan umum untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat. Padahal menurutnya pemerintah belum melakukan evaluasi terhadap uang ganti rugi atas tanah milik warga yang digunakan untuk kepentingan umum dalam aturan tersebut.
Pasalnya, hal tersebut membuat masyarakat kerap kali kehilangan pekerjaan dan sumber pencariannya, karena tanah yang biasa digunakan untuk menghidupi kehidupannya sudah tidak ada lagi. Parahnya lagi cara-cara yang digunakan pemerintah dalam mengambil alih lahan warga seringkali tidak manusiawi. Pemerintah terkesan hanya berfungsi sebagai regulator yang lebih berpihak kepada kepentingan korporasi bukan melayani rakyat.
"Situasi di Rempang adalah bagian dari praktik umum yang memandang penduduk lokal sebagai penghambat pembangunan. Ini adalah cara yang secara struktural penuh kekerasan dalam mengelola masyarakat," pungkas dosen studi politik dan keamanan di Murdoch University di Perth, Ian Murdoch. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20230919)
Seakan tak peduli kedaulatan warga Rempang, meski harus mengingkari komitmen menjaga kearifan lokal, bahkan meski dengan risiko besar ancaman bencana ekologi, pemerintah bersikukuh melanjutkan proyek ambisiusnya membangun REC.
 Inilah ketidakadilan penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai korban proyek oligarki sebab pembangunan yang berlangsung lebih berpihak kepada oligarki bukan melayani rakyat.