Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cuan Kapital di Balik TV Digital

18 November 2022   00:32 Diperbarui: 18 November 2022   00:37 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: suaramerdeka.com

Cuan Kapital dibalik TV Digital

Oleh : Herini Ridianah, S.Pd

Siaran televisi analog atau analog switch off (ASO) resmi dipadamkan oleh pemerintah pada Rabu 2 November 2022 di Jabodetabek. ASO ini pun akan dilakukan di 514 kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), saat ini migrasi siaran TV analog ke digital telah dilakukan di delapan kabupaten/kota di empat wilayah siaran. (https://voi.id/ekonomi/225199/). 

Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan rakyat mendapatkan siaran TV yang bersih gambarnya, jernih suaranya, canggih teknologinya. Pilihan konten siaran bagi masyarakat juga akan menjadi semakin banyak dan beragam jenisnya.

Namun demikian, kebijakan yang tidak berlaku secara nasional ini dinilai double standar oleh the Executive Chairman at MNC Group, Hary TanoeSudibjo. Diperkirakan 60 % masyarakat di Jabodetabek tidak bisa lagi menikmati tayangan televisi secara analog di wilayah Jabodetabek kecuali dengan membeli Set Top Box (STB) atau mengganti televisi digital, bisa juga berlangganan TV parabola.

Karenanya MNC Group tetap berkukuh untuk membawa hal ini ke jalur hukum karena dinilai merugikan masyarakat. (https://kumparan.com/kumparanbisnis/)

Sementara itu Kemenhukam, Mahfud MD menegaskan jika masih ada stasiun TV yang menyiarkan saluran secara analog maka akan dianggap illegal dan bertentangan dengan hukum. (Republika.co.id, 04/11/2022). Beliau mengklaim 98 % masyarakat di Jabodetabek sudah siap menggunakan TV Digital. Untuk masyarakat yang tidak siap, pemerintah menyiapkan posko-posko bantuan.

Pada tanggal 10 November yang lalu, Kementerian Kominfo RI bersama DPR RI baru saja menyelenggarakan seminar online dengan tema yang diangkat "Sosialisasi Analog Switch Off (ASO)" dan seremoni penyerahan bantuan Set Top Box (STB).

Terlepas dari pro kontra TV digital, Indonesia sebenarnya telah tertinggal dalam penerapan teknologi siaran digital. Staf Khusus Menkominfo Bidang Komunikasi Politik Philip Gobang menyatakan sudah 85 persen negara-negara di dunia telah bermigrasi ke TV digital. (https://www.viva.co.id/berita/nasional). Dalam hal ini, Mahfud MD mengungkapkan Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN.

Berdasar kesepakatan International Telecommunication Union (ITU) di Jenewa pada 2006, batas akhir dihentikannya siaran analog (analog switch off/ASO) kemudian penyiaran digital dilaksanakan sepenuhnya oleh 119 negara anggota ITU adalah 17 Juni 2015. (https://indonesiabaik.id/videografis). 

Payung hukum migrasi TV analog ke digital ini berdasarkan pada Undang-Undang Cipta Kerja. "Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan regulasi turunan lainnya, Indonesia telah memiliki payung hukum untuk migrasi TV analog ke TV digital dan penghentian analog atau ASO (analog switch off)," ujar Mahfud MD. Indonesia diberi waktu 2 tahun untuk bermigrasi dari disahkannya UU tersebut. Maka 2 November 2022 adalah waktunya.

Siapa yang paling diuntungkan?

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate menyebut, merujuk hasil riset Boston Consulting Group tahun 2017, ada beberapa pihak yang diuntungkan dengan migrasi ke TV digital.

Pihak pertama yang diuntungkan tentunya pemerintah karena multiplier economy yang dihasilkan dari pemanfaatan digital dividen ini  akan memberikan dampak untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di kisaran Rp 7 triliun per tahun."Atau lebih dari 70 triliun, sekitar 77 triliun untuk 10 tahun masa lisensi spektrum bagi operator telekomunikasi. 

Akan memungkinkan kontribusi terhadap PDB nasional kita sampai dengan 448 triliun rupiah, dan akan bisa lebih besar lagi melalui akselerasi transformasi digital nasional kita, " imbuh Menkominfo. (https://www.liputan6.com/tekno).

Maka, semakin lama menunda, negara semakin merugi, karena potensi pendapatan dari sektor TV digital tidak terpenuhi. Sedangkan pendapatan dari frekuensi TV analog saat ini hanya mendapatkan Rp100 miliar-an. Pendapatan ini berasal dari biaya penggunaan frekuensi atau disebut digital dividend yang disetorkan pelaku usaha digital yang memakainya

 Pihak kedua adalah pelaku bisnis digital yang mendapatkan saluran frekuensi 700 MHz untuk broadband. (https://www.indonesiana.id, 29/04/2022). TV analog memakan sumber daya yang besar dengan spektrum 700 MHz, sedangkan TV digital hanya membutuhkan 176 MHz bagi stasiun televisi.  , dengan dimatikannya siaran analog, akan ada farming spektrum frekuensi sebesar 112 MHz di spektrum 700 MHz. 

Pemanfaatan saluran frekuensi ini bisa digunakan untuk peningkatan kualitas internet 4G, 5G, menambah besarnya peluang ekonomi digital, mengembangkan ekosistem bisnis kreatif, sehingga ekonominya akan membesar.

Sementara bagi bisnis lembaga penyiaran swasta (LPS) yang ada saat ini, tentu harus berbenah untuk migrasi ke digital. Soal potensi bisnis LPS pasca adanya migrasi ke digital, bergantung pada strategi masing-masing LPS.

Penerbitan kebijakan yang terkait UU Cipta Kerja tentulah  pada realisasinya  akan menguntungkan para pemilik modal. "STB seharusnya dibagikan secara gratis dulu sebelum dijual di pasaran agar masyarakat dapat mendapatkan siaran televisi digital, Kalau barang itu ada di pasar, harusnya yang menjadi kewajiban dari yang menjanjikan di Undang-Undang Ciptakerja, 6 juta itu harusnya sudah selesai (dibagikan) dulu dong, baru sisanya dijual," ujar Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin pada hari Kamis 10/11/2022. Ia pun mengungkapkan ada yang ambil keuntungan hingga harga naik terus. (https://nasional.okezone.com)

Sebagai contoh, PT INTI mencatat produksi STB INTI DVBT2 mencapai 58.537 unit yang diselesaikan dalam dua pekan  6-21 Agustus. Belum lagi banjir orderan di sejumlah kota dan instansi. Dari sini saja bisa dibayangkan keuntungan yang didapat. Hal serupa dialami juga oleh 23 produsen STB lainnya yang telah tersertifikasi.(https://www.antaranews.com) 

Tidak semua masyarakat siap

Perkembangan teknologi memang tak bisa dipungkiri termasuk dalam bidang telekomunikasi. Saat ini, dunia semakin kecil dalam genggaman karena adanya perkembangan internet, TV digital, dsb. Sayangnya, tidak semua masyarakat siap dengan perubahan ini.

Pengamat ekonomi digital dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Nailul Huda mengungkapkan bahwa masyarakat belum siap 100 % menghentikan TV Analog atau bermigrasi ke TV digital. Ketidaksiapan ini bisa dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi. 

Untuk migrasi ke TV digital, sebagian masyarakat menengah ke bawah harus  terpaksa membeli Set Top Box  yang sudah terverifikasi oleh Kominfo. Cirinya terdapat stiker DVD -- T2 dan gambar MODI. Rentan harga dari alat ini juga bervariasi mulai Rp. 250.000 sampai Rp. 500.000 Rupiah. (https://www.ayovaksindinkeskdi.id)

Bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, tentu hal ini akan menambah beban mereka di tengah himpitan ekonomi yang masih belum stabil. Masyarakat masih harus mencukupi kebutuhan pokok, pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Mindset Kapitalisme?

Sistem kapitalisme sekuler saat ini mengharuskan penguasa  berbisnis dengan rakyatnya. Konsumen atau objek pasar adalah rakyat. Strategi penjualannya dengan cara mengaitkan kebijakan di dalamnya. Tak bisa dipungkiri, hampir semua sektor kebutuhan publik termasuk telekomunikasi jadi bahan komersil. 

Layanan telekomunikasi tidak murni disediakan oleh pemerintah, tapi juga ada kendali industri. Adanya efisiensi frekuensi akan menguntungkan korporasi telekomunikasi. Seperti penilaian peneliti INDEF, Nailul Huda bahwa migrasi ini bisa menguntungkan dari sisi pengembangan telekomunikasi dari 4G ke 5G meski hanya terbatas di daerah-daerah tertentu. Karena pita frekuensi bisa dipakai industri telekomunikasi.

Kapitalisme melihat bahwa negara dianggap sebagai ladang bisnis berbasis politik. Pemerintah bersikap sebagai sales marketing untuk mempromosikan bisnis-bisnis ekonomi. Sehingga, bentuk tanggung jawabnegara dan para politisi terganti dengan adanya pengaruh para penguasa korporasi. (Balairung press.com, 7/12/2012)

Tantangannya, dibalik gemerlap kecanggihan teknologi digital masih akan ada masyarakat yang tidak melek teknologi, mengalami kesenjangan informasi. Tetap saja ada yang harus berkutat dengan hidup berteknologi manual atau beban hidup makin bertambah untuk mendapatkan layanan tersebut. 

Inilah atmosfer kehidupan dalam sistem kapitalisme. Pemilik teknologi adalah yang punya modal besar. Dan mayoritas mereka adalah swasta. Karena bagi kapitalisme, teknologi adalah komoditas ekonomi. Orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menikmati teknologi. Akibatnya lambat laun, manusia malah dianggap tidak punya fungsi hanya gara-gara mereka gagap teknologi (gaptek).

Pandangan Islam

Sangat berbeda dengan islam dalam memandang teknologi. Faktanya, teknologi adalah instrument pendukung kehidupan. Sehingga makin luas teknologi semestinya berbanding lurus dengan penyediaan lapangan kerja dan pengelolaan kehidupan yang membaik. 

Kondisi demikianlah yang harus terwujud. Sebab keberadaan pemerintah adalah pelayan (ra'in) bagi warga negaranya. Dalam islam, kebutuhan telekomunikasi  seperti sarana pelayanan pos, surat menyurat, telepon, kiriman kilat, teleks, sarana televisi, perantara satelit, dll merupakan salahsatu jenis infrastruktur milik negara yang disebut dengan Marafiq. 

Marafiq adalah bentuk jamak dari kata mirfaq yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan di pedesaan, provinsi maupun yang dibuat negara selama  sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu.

Marafiq 'ammah ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Maka perkembangan teknologi TV analog ke digital dan efisiensi pengguna frekuensi semata-mata harus dikembangkan untuk kemudahan masyarakat mengakses informasi. 

Menurut islam, pengembangan ini  dapat dibiayai negara yang dananya berasal dari Baitul Mal pos kepemilikan negara. Sumber pos kepemilikan negara berasal dari harta Usyur, Kharaj, Ghanimah, Jizyah, dan sejenisnya.

Tanggung jawab penuh negara dalam menyediakan layanan publik telekomunikasi membuat masyarakat siap dengan berbagai transformasi teknologi. Apalagi telekomunikasi sebagai salahsatu perangkat media akan jadi salahsatu perhatian. Efisiensi frekuensi yang mempercepat perkembangan internet harus digunakan untuk kepentingan media dakwah di dalam dan luar negeri.

Alhasil, karena migrasi TV digital adalah satu keniscayaan, maka yang harus dipastikan adalah tidak boleh sampai membebani rakyat pada realisasinya. Semoga Indonesia bisa lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun