Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cuan Kapital di Balik TV Digital

18 November 2022   00:32 Diperbarui: 18 November 2022   00:37 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: suaramerdeka.com

Tidak semua masyarakat siap

Perkembangan teknologi memang tak bisa dipungkiri termasuk dalam bidang telekomunikasi. Saat ini, dunia semakin kecil dalam genggaman karena adanya perkembangan internet, TV digital, dsb. Sayangnya, tidak semua masyarakat siap dengan perubahan ini.

Pengamat ekonomi digital dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Nailul Huda mengungkapkan bahwa masyarakat belum siap 100 % menghentikan TV Analog atau bermigrasi ke TV digital. Ketidaksiapan ini bisa dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi. 

Untuk migrasi ke TV digital, sebagian masyarakat menengah ke bawah harus  terpaksa membeli Set Top Box  yang sudah terverifikasi oleh Kominfo. Cirinya terdapat stiker DVD -- T2 dan gambar MODI. Rentan harga dari alat ini juga bervariasi mulai Rp. 250.000 sampai Rp. 500.000 Rupiah. (https://www.ayovaksindinkeskdi.id)

Bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, tentu hal ini akan menambah beban mereka di tengah himpitan ekonomi yang masih belum stabil. Masyarakat masih harus mencukupi kebutuhan pokok, pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Mindset Kapitalisme?

Sistem kapitalisme sekuler saat ini mengharuskan penguasa  berbisnis dengan rakyatnya. Konsumen atau objek pasar adalah rakyat. Strategi penjualannya dengan cara mengaitkan kebijakan di dalamnya. Tak bisa dipungkiri, hampir semua sektor kebutuhan publik termasuk telekomunikasi jadi bahan komersil. 

Layanan telekomunikasi tidak murni disediakan oleh pemerintah, tapi juga ada kendali industri. Adanya efisiensi frekuensi akan menguntungkan korporasi telekomunikasi. Seperti penilaian peneliti INDEF, Nailul Huda bahwa migrasi ini bisa menguntungkan dari sisi pengembangan telekomunikasi dari 4G ke 5G meski hanya terbatas di daerah-daerah tertentu. Karena pita frekuensi bisa dipakai industri telekomunikasi.

Kapitalisme melihat bahwa negara dianggap sebagai ladang bisnis berbasis politik. Pemerintah bersikap sebagai sales marketing untuk mempromosikan bisnis-bisnis ekonomi. Sehingga, bentuk tanggung jawabnegara dan para politisi terganti dengan adanya pengaruh para penguasa korporasi. (Balairung press.com, 7/12/2012)

Tantangannya, dibalik gemerlap kecanggihan teknologi digital masih akan ada masyarakat yang tidak melek teknologi, mengalami kesenjangan informasi. Tetap saja ada yang harus berkutat dengan hidup berteknologi manual atau beban hidup makin bertambah untuk mendapatkan layanan tersebut. 

Inilah atmosfer kehidupan dalam sistem kapitalisme. Pemilik teknologi adalah yang punya modal besar. Dan mayoritas mereka adalah swasta. Karena bagi kapitalisme, teknologi adalah komoditas ekonomi. Orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menikmati teknologi. Akibatnya lambat laun, manusia malah dianggap tidak punya fungsi hanya gara-gara mereka gagap teknologi (gaptek).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun