Mohon tunggu...
Heri Purwoko
Heri Purwoko Mohon Tunggu... Dosen - Words & Images

Dosen penulisan skenario, editor-in-chief beberapa media internal, dan chief creative officer sebuah perusahaan desain kecil di Jakarta. Suka jalan-jalan, sambil bersepeda. :)\r\n\r\ne: heriko.media@gmail.com\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Weekend di Bukit Barisan Selatan

8 Juni 2014   22:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:41 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Para gajah kemudian berjalan di sungai dangkal, menimbulkan suara kecipak air yang indah. Ah, betapa saya yang kecil ini membayangkan sedang berada di Taman Jurassic. Mungkin satu dua ekor pteranodon terbang melintasi kami, lalu keluarga kecil triceratops mengambil buah dari sisi sungai, sementara para brontosaurus yang baru datang segera menyusul kami meneguk air sungai.

Berkendara Gajah Masuk Hutan

Usai dari sungai, kami kembali ke pos. Saya sempat memberi makan Tommy dengan buah pisang. Pintarnya, ketika Ester coba memberi kulit pisang, Tommy menolaknya mentah-mentah. Bahkan ketika kulit pisang ia beri bersamaan dengan pisang yang masih utuh pun ditolaknya. Ibu Lutfia mungkin adalah yang paling takjub dengan sosok Tommy. Berkali-kali ia foto dengannya, mengelus tubuhnya, memberinya pisang, juga berkata, "Tommy, kapan ya kita ketemu lagi?"

Gajah tidak mengenal rasa kenyang, demikian tukas pawang yang memperhatikan saya sedang memperhatikan gajah-gajah yang selalu makan pisang tanpa henti. Diberi makan sebanyak apapun, gajah sanggup menghabiskan. Sementara kalau lapar ia bisa mencuri kesempatan sekecil apapun. Mungkin itu sebabnya sering diberitakan tentang kawanan gajah yang masuk area perkebunan warga.

Satu persatu dari kami diberi kesempatan untuk mencoba rasanya 'berpatroli' dengan gajah. Saya kembali menaiki Renggo, entah kebetulan atau Renggo yang memilih saya. Namun, kali ini, selain dengan pawangnya, juga dengan Mas Edi. So, kami bertiga berada di punggung gajah, memasuki area hutan, turun, dan menyusuri sungai.

Usai patroli gajah, kami menanam bibit pohon, masih di area yang sama. Setelah sebagian lelaki pergi ke masjid untuk sholat Jumat, kami makan siang dan bergegas menuju micro-hydro, sekitar 30 km dari Pos Pemerihan. Namun sebelumnya, kami sempat mampir menemui warga tak jauh dari pos yang tergabung dalam forum sahabat gajah. Hebatnya, kelompok yang terdiri hingga 20 orang ini secara bergantian melakukan patroli malam. Siang patroli dari sekitar Maghrib dan baru pulang ke rumah setelah lewat Subuh. Siangnya mereka berkebun, ke sawah atau berdagang. Hebat!

Hujan Turun

Perjalanan panjang menuju lokasi micro-hydro disambut dengan hujan yang turun konsisten. Awet. Sebenarnya saya senang menyambut hujan, karena itu berarti bisa mereduksi debu-debu yang berterbangan. FYI, sepanjang perjalanan kami banyak menemui jalanan rusak dan berkerikil, atau kadang terkelupas sama sekali hingga tanah merahnya muncul. Kalau sudah begitu, debu tak mungkin bisa dihindari. Walau kaca mobil sudah ditutup, sepertinya partikel debu yang kecil-kecil itu sering berhasil masuk. Buktinya, saya bersin. Sniff....

Hujan yang turun ternyata menyurutkan langkah kami untuk mengunjungi lokasi micro-hydro. Jalan tanah licin yang menurun menuju lokasi tentu tidak mudah dilalui mobil. Padahal saya penasaran, seperti apa prosesnya. Kalau lihat di majalah atau tv sudah beberapa kali, tapi kalau langsung saya belum pernah. Saya penasaran bagaimana tenaga air itu bisa membuat aliran listrik untuk warga, walau masih dalam skala kecil. Saya sempat bertanya kepada salah satu warga yang jadi mitra WWF tentang micro-hydro, apakah energi yang didapat itu disimpan? Jawabnya tidak. Tapi ia jadi terpikir karenanya. Energi yang disimpan bisa digunakan untuk keperluan yang sifatnya hajat besar atau emergency. Listrik yang belum menjangkau sebagian besar di Pemerihan dan sekitarnya membuat warga mengandalkan generator-set. Tidak heran kalau selepas maghrib, situasi jadi gelap gulita kecuali cahaya bintang.

Singgah di Liwa

Lokasi yang akan kami tuju berikutnya adalah Danau Ranau. Kami melintasi jalan berkelok nan panjang dan terjal, melintasi kota kecil Krui, hingga akhirnya singgah di Hotel Sahabat Utama, Liwa. Pagi hari, saya berjalan kaki menyusuri tepian jalan yang terbungkus kabut bersama Mas Agus, sambil bercerita banyak hal. Kota yang tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun