Mohon tunggu...
Heri Purwoko
Heri Purwoko Mohon Tunggu... Dosen - Words & Images

Dosen penulisan skenario, editor-in-chief beberapa media internal, dan chief creative officer sebuah perusahaan desain kecil di Jakarta. Suka jalan-jalan, sambil bersepeda. :)\r\n\r\ne: heriko.media@gmail.com\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Weekend di Bukit Barisan Selatan

8 Juni 2014   22:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:41 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tingkat kesadaran orang untuk membuang sampah di tempatnya masih sangat minim di masyarakat kita. Jika Anda, dengan keluarga Anda, atau dengan teman-teman Anda punya kesadaran itu, jumlahnya masih tetap minim dibandingkan jumlah mereka yang tidak peduli. Buang sampah sembarangan, motor naik trotoar, dan merokok di area tertutup bukan perokok adalah tiga hal yang paling memprihatinkan. Tiga hal itu bukan saja mengganggu hak orang lain, tapi juga menunjukkan betapa rendahnya kesadaran diri dan edukasi yang mereka dapatkan.

Buang sampah sembarangan tentu menyebabkan buruknya pemandangan hingga yang lebih serius seperti banjir. Kendaraan bermotor naik trotoar mungkin yang paling membahayakan dan menimbulkan efek-benci-langsung dari para pejalan kaki yang merasa trotoar adalah jalurnya. Sementara merokok di area tertutup bukan perokok seperti dalam angkot, ruang tunggu, atau ruang publik lain tentu saja menambah sumpeknya udara, oksigen yang dihirup oleh bukan perokok pun jadi makin menipis karena bersaing dengan polusi udara lainnya. Untuk hal terakhir, polusi udara, tahukah kalian bahwa salah satu penyebab menurunnya daya tahan tubuh adalah dari polusi udara? Udara yang tercemar mengandung material yang juga bisa mengendap di perairan untuk kemudian menempel di makanan ikan. Udara jauh lebih serius untuk dijaga dibanding elemen vital lain.

Robusta dari Sedayu

Oke, kembali ke cerita perjalanan saya. Sebelum memasuki area Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS), kami singgah di Sedayu, sebuah daerah di tepi TNBBS.  Sekar Sedayu adalah nama sebuah kelompok kecil yang di-support oleh WWF dan memproduksi olahan kopi. Dengan brand Kuyungarang, mereka mengolah kopi robusta menjadi biji kopi, kopi bubuk, dan kopi luwak. Merasakan langsung rasa kopi robusta hasil tanam masyarakat Sedayu dan sekitar, tentu beda di lidah. Kopi hitam pekat tanpa gula yang bukan sekedar beraroma 'gosong' segera menyongsong lidah, menaikkan perasaan suka cita.

Saya penyuka kopi. Tapi tidak selalu memperhatikan perbedaan tiap jenis kopi yang melintasi mulut. Kopi Mandailing, Sulawesi, Aceh, Papua, Robusta, Arabica, Robusta Arabica, Lampung, hingga Pacitan rasanya kurang lebih sama. Tapi setelah disadarkan teman-teman pecinta kopi di sana, rasanya tentu saja berbeda, masing-masing punya ciri rasa. Ya-ya, saya baru menyadari Robusta itu lebih pahit dan Arabica itu lebih asam. Baiklah, lain kali lidah saya harus dipacu supaya lebih peka rasa.

Bagaimana dengan kopi luwak? Well, saya tidak terlalu tertarik untuk mencicipi. Apalagi setelah melihat langsung bentuk awalnya, untungnya kemarin yang saya pegang sudah kering, walau bentuknya masih seperti feses. Dari rumah kopi Sedayu itu pula, saya membawa sample biji kopi yang telah disangrai dan juga kopi bubuknya. Siapa tahu setelah ini, niat saya kesampean untuk jadi penjual kopi di Jakarta. Amiin... :)

Sekar Sedayu tidak hanya memproduksi kopi, ada madu, cokelat, dan juga lada. Kebun-kebun di sana menggunakan sistem tumpang sari, beberapa tanaman tumbuh berdampingan dan diatur dalam satu area, biasanya ada kopi, lada, dan cokelat. Saya dan teman-teman juga sempat merasakan buah kakao/cokelat yang sudah matang, walau di samping rumah saya juga ada pohonnya. Buat yang belum tahu, rasa daging buahnya seperti kecapi, namun tidak terlalu masam. Biasanya, biji cokelat dijemur hingga kering, dikupas kulitnya, hingga didapatkan isinya yang kemudian diolah menjadi cokelat bubuk, rasanya pahit.

Malam Dingin Berangin di Rhino Camp

Selepas Sedayu, maka kami menyusuri jalan berkelok menanjak menuju Rhino Camp. Walaupun menyandang nama 'rhino', bukan berarti di sana ada badaknya. Tapi at least, pernah menjadi camp sementara bagi Rossa, nama seekor badak yang diselamatkan.

Rhino Camp terdiri dari empat bangunan utama; satu dapur umum, satu rumah singgah dengan kamar dan kamar mandi di dalam, satu bangunan bertingkat yang sepertinya ini merupakan bangunan utama dengan ruang kerja dan dua kamar di lantai atas, serta pendopo untuk makan atau berdiskusi. Toilet individu terletak beberapa meter dari rangkaian kuartet bangunan tersebut, sementara tempat untuk mandi berada lebih jauh lagi ke arah bawah dengan mata air yang terus mengalir.

Ada juga area tanah yang permukaannya dibuat datar dengan beberapa potong tubuh pohon mengelilingi sebuah pohon besar untuk tempat duduk, agaknya ini adalah area untuk duduk-duduk santai atau untuk acara malam hari seperti api unggun dan lokasi tenda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun